Catatan Singkat tentang Merapi
“…. di Kampus, kita diberikan pelajaran lalu mengerjakan ujian,sedangkan dalam kehidupan kita diberikan ujian yang dapat dijadikan pelajaran…. ” (NN)
Selasa, 26 Oktober 2010, Sekali lagi Merapi bergejolak, tak tanggung-tanggung lebih dari 30 orang manusia menjadi korban keganasannya, termasuk seorang Maridjan yang pernah mengukir nama di atas tragedi yang sama 4 tahun lalu. Akibat gejolak tersebut, Indonesia terjaga dari kepulasannya, namun dalam keterjagaannya itu, pemerintah masih saja terlihat tertatih-tatih bergerak dalam birokrasi yang kaku untuk sekadar bertindak mengatasi bencana yang tengah merajalela. Akhirnya masyarakat kecil menengahlah yang mulai bergerak dengan inisiatifnya sendiri. Tanpa adanya komando, mereka bersatu padu dengan kemampuan masing-masing mencoba membantu korban, sebuah gambaran riil dari sasanti “BHINEKA TUNGGAL IKA” yang telah lama tenggelam dalam hingar bingar euforia reformasi pasca Lengser Keprabon’nya Soeharto. Blessing in Disguise, huh?
Belum sembuh duka dan keterkejutan masyarakat, Dinihari Tanggal 4 November Merapi kembali berulah, lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, jumlah korban meningkat drastis sampai menyentuh angka Seratusan jiwa, dengan korban ternak dan harta benda yang tidak terhitung. Konon, Abu Vulkanik merapi, sebagai salah satu ekses letusan, juga menyebar sampai daerah Pasundan, wilayah oposisi Kerajaan Mataram dahulu kala.
Pasca kejadian tersebut, satu-persatu relawan dan bantuan datang silih berganti ke daerah bencana di sekitar Merapi. Sleman, Klaten, Magelang dan Boyolali yang masih terlihat pucat pasi akibat baluran kosmetik abu vulkanik Gunung Merapi menyambut kedatangan mereka dengan senyuman yang agak tertahan, tertahan duka kepedihan yang sangat mendalam. Namun, diantara duka tersebut, masih terlihat seberkas sinar harapan yang cukup besar dalam sorot matanya.
Saya tidak mau ketinggalan. Bersama beberapa kawan (Rakhel-FPsi, Anis-FKM, Dede-FH, Intan-FK, dan Sumantri-FIB), saya memutuskan untuk berangkat ke jogja dan bergabung bersama relawan/wati lain yang terlebih dahulu telah datang menyumbangkan tenaga dan fikiran untuk membantu para pengungsi.
Pertama kali tiba di Jogja, suasana duka sudah sangat terasa. Namun, karena denyut kehidupan harus tetap berlanjut, apapun yang terjadi, aktifitas harian masyarakat yang daerahnya berada diluar zona bahaya tetap berlangsung seperti biasa. Penjual Nasi Kucing dalam Angkringan tetap menjajakan dagangannya, Tukang Becak tetap menarik becaknya, dan sopir angkutan kota tetap beroperasi setiap hari. Jogja tetap ramah dalam selimut Musibah.
Di Posko UPN (Universitas Pendidikan Nasional) Veteran Jogja, sebagai tujuan awal, kami bertemu dan mengobrol sejenak dengan seorang Nenek yang bercerita mengenai petualangan masa mudanya. Cerita tersebut kemudian diakhiri dengan pesan-pesan mengenai keutamaan seorang Perempuan yang harus memegang teguh Janji setia kepada laki-laki pasangannya, terlepas dari apapun yang diperbuat oleh pasanganya tersebut.
“…. lare setri niku kedah suwito kalian jaler ipun, setri setunggal mboten pareng gadhah jaler kalih, tigo, nopo malih Sekawan, mangke mboten jelas yugonipun niki keturunan jaler ingkang pundi .. tiyang setri saene namung gadhah jaler setunggal, nanging tiyang jaler saget anggadhahi istri Gangsal, kantun milih .. “ / “ … Perempuan itu harus selalu berbakti kepada Suaminya, seorang perempuan tidak diperkenankan bersuami dua, tiga, atau bahkan empat, nanti bisa berakibat pada ketidakjelasan status anak yang dilahirkan … Perempuan sebaiknya hanya bersuami satu orang, namun untuk laki-laki bisa beristri Lima, tinggal pilih saja .. “
Mendengar pesan si Nenek, Rakhel dan Anis tersenyum, sedangkan saya hanya bisa menggumam dalam hati, benar-benar ciri khas perempuan klasik Jawa yang masih memegang teguh ajaran asli etika keperempuanan ala Candrarini dan Wulang Putri.
Dari Posko Pengungsian UPN, saya dan rombongan beranjak menuju Posko Maguwoharjo. Posko Maguwoharjo adalah Posko Utama Pengungsian di Daerah Jogja yang mengambil tempat di lingkungan stadion dengan daya tampung sampai puluhan ribu jiwa. Pos pengungsian ini dibagi menjadi tiga lantai sesuai konstruk awal bangunannya. Setiap lantai dilengkapi dengan sarana kebersihan berupa Kamar Mandi dan Toilet yang cukup bagus, namun karena banyaknya jumlah pengungsi dan mungkin juga karena kesadaran pengungsi akan kebersihan yang masih rendah, kondisi kamar mandi tersebut berubah secara drastis menjadi sangat kotor. Beruntung ada TNI yang sigap membantu, setiap Pagi dan Sore Korps Pasukan Kopassus dan Marinir secara bergotong royong membersihkan Kamar Mandi Stadion sekaligus sampah yang ada di sekitar pengungsian. Tidak cukup sampai disitu saja, pihak TNI juga membangun Dapur Umum yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Puluhan Ribu Pengungsi dari Pagi sampai Malam Hari. Sungguh, Baktimu terhadap Negeri patut diapresiasi lebih tinggi.
Di Posko Maguwoharjo, saya ikut membantu menjalankan Sekolah Ceria LSM MBC (Mom and Baby Center) dan Sedikit berpartisipasi dalam Pelaksanaan Program Posko Psikologi yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang bekerjasama dengan beberapa Universitas lokal, seperti Universitas Mercubuana, UII, UIN Sunan Kalijogo, dan UGM. Kegiatan Sekolah ceria terfokus untuk anak-anak sebagai tindakan preventif pencegahan depresi akibat trauma bencana merapi. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam Sekolah Ceria tersebut antara lain adalah Menggambar, Bernyanyi, dan Mendongeng. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh MBC, Posko Psikologi juga mempunyai beberapa kegiatan yang berkaitan dengan Anak-anak, salah satunya adalah terapi terhadap depresi akibat bencana merapi.
Dalam beberapa kesempatan, saya dan Anis ikut membantu dalam proses distribusi bantuan dari Pusat Logistik di Lantai satu menuju tempat pengungsian di Lantai dua dan Tiga. Namun, diluar dugaan saya, ternyata tidak ada mekanisme pasti mengenai pembagian bantuan terhadap pengungsi, akibatnya bantuan yang sebenarnya cukup berlebih tidak terbagi secara rata. Baju sumbangan yang sangat banyak akhirnya hanya nglumbruk di beberapa sudut bangunan tanpa guna. Menurut keterangan dari beberapa pengungsi yang lokasi tinggalnya agak kurang “Strategis”, diperlukan keberanian dan kecepatan gerak yang tinggi untuk bisa bersaing dengan pengungsi lain dalam memperebutkan bantuan. Ironis.
“ …. Menawi kendhel langsung mendhet ngoten nggih saget angsal mas .. “ / “… Kalau berani langsung Ambil ya bisa dapat (bantuan) mas… ”
“… wiwit ndek wingi kulo niki sampun nyuwun Selimut kalihan kloso, nggih ngesak aken lare-lare kalihan Ibune, nggreges kademen saben dalu, nanging ngantos sakmeniko taksih dereng dipun paringi, tirose dereng wonten .. nggih mpun tho, menawi dereng wonten badhe nopo malih ” / “ .. Saya ini dari kemaren sudah minta diberikan Selimut dan Tikar, kasihan melihat anak-anak dan ibunya yang selalu kedinginan setiap malam, tapi sampai sekarang belum dikasih, katanya belum ada .. yasudahlah, kalau memang belum ada, mau diapakan lagi … “ (sambil menunduk)
Masalah pemerataan bantuan yang ada di Maguwoharjo tersebut pernah coba kami perbaiki dengan memberikan usulan kepada pihak kepala distribusi mengenai mekanisme penyaluran bantuan yang lebih baik, namun dengan alasan keterbatasan tenaga dan banyaknya kuantitas pengungsi, usulan kami ditolak. No Problem, yang pasti kami sudah berusaha memperbaiki apa yang kami anggap kurang benar.
Disela-sela kesibukan mengurus anak-anak dan membantu distribusi bantuan, Saya mencoba berbincang-bincang dengan seorang Ibu Pengungsi dari Cangkringan. Perawakannya sederhana, namun ada satu hal yang cukup menarik perhatian, yaitu senyuman yang selalu tersungging di sudut bibirnya. Paparan beliau terlihat lugu, tapi cukup mampu untuk merobohkan bendungan air mata di pelupuk mata saya, namun saya mencoba bertahan untuk tetap tersenyum menyimak semua ceritanya, dari awal sampai akhir.
“ … griyo kulo mpun rusak sedanten mas, roto kalih lemah, mboten kengeng dipun tinggali malih …” / “ … rumah saya sudah rusak semua mas, rata dengan tanah dan sudah tidak bisa dihuni lagi ….” (sambil tersenyum)
“… niki, lembu kulo, namung tigo nanging saget damel nyambung panguripan, sakniki mpun pejah sedanten …” / “… ini, sapi perah saya, walaupun jumlahnya hanya 3, tapi bisa digunakan untuk menyambung hidup ..” (diakhiri dengan tawa)
“ … mboten semerep mangke sak sampune saking pengungsian ngriki badhe nyambut nopo, nggih tiyang alit kados kulo niki namung saget pasrah kalihan pengeran, nggih tho ? Sedoyo niki namung cobi saking gusti … “ / “ … Saya tidak tahu setelah pulang dari pengungsian ini akan kerja apa, yang pasti orang kecil seperti saya ini hanya bisa pasrah kepada Tuhan, iya kan ? karena semua ini adalah cobaan dari Tuhan … “ (sambil tertawa)
Demikianlah penggalan kata-kata dari sang ibu yang masih tersangkut dalam ingatan saya. Bayangkan, dalam suasana keprihatinan yang mendalam, Si Ibu masih bisa mentertawai keadaanya dengan sangat lepas. Memang, Tertawa dan Menangis merupakan tindakan spontan yang diakibatkan oleh reaksi terhadap kenyataan yang dialami seseorang. Tawa identik dengan kegembiraan sedangkan tangis lebih erat kaitannya dengan kesedihan, walaupun saya akui ada sedikit penyimpangan dalam konsepsi ini, ketika dalam suatu kesempatan tangis juga dapat dgunakan untuk merepresentasikan perasaan Gembira yang mendalam.
Mentertawai Keprihatinan, kesusahan dan penderitaan yang dirasakan menurut saya memerlukan kekuatan jiwa yang hebat. Perlu manajemen hati tingkat tinggi untuk bisa melakukan tindakan ini. Tertawa terhadap kesusahan menyebabkan seseorang mempunyai pandangan positif terhadap kehidupannya, akhirnya pandangan positif tersebut akan berpengaruh juga terhadap sikap dan perilakunya dalam menjalani hidup. Apabila dirunut dari sisi budaya yang ada dalam konteks masyarakat pengungsi, terdapat Konsep “Nrimo ing Pandum”, mungkin konsep inilah yang sudah terinternalisasi dengan baik dalam diri masyarakat. Nrimo ing Pandum secara sederhana dapat diartikan “Menerima bagian yang telah ditetapkan”. Dengan memegang teguh konsep ini, seseorang akan merasa ringan menjalani hidup, karena dia mempunyai keyakinan kuat bahwa dalam hidup, semua bagian sudah ditetapkan oleh yang Kuasa, setiap orang mempunyai bagian tersendiri dengan porsi yang berbeda-beda. Bagian yang ditetapkan ini ada yang baik, namun juga ada yang buruk, termasuk Bencana Letusan Merapi. Bagian yang sudah ditetapkan mau tidak mau harus diterima, namun cara penerimaan ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang menerima dengan ketulusan hati, namun ada pula yang menerima dengan misuhiatau mengumpat. Salah satu bentuk ketulusan dalam menerima bagian (baik atau buruk) adalah dengan senyum dan tawa. Daripada stress memikirkan bencana yang menimpa, lebih baik tersenyum dan tertawa untuk menenangkan dan menjaga hati, karena dengan tawa atau tangis pun, bencana yang sudah terjadi tidak mungkin bisa dirubah.
Akan tetapi, Konsep ‘Nrimo ing Pandum’ ini seringkali disalah artikan oleh beberapa pihak. Nrimo dianggap sebagai bentuk pragmatisme dan kemalasan. Padahal, nrimo merupakan bagian akhir setelah semua daya usaha dilakukan, bukan sebaliknya, nrimo tanpa melakukan suatu usaha.
Dalam setiap kesempatan ada pembelajaran yang bisa dipetik. Memang, Kampus adalah gudangnya ilmu pengetahuan, namun mengutip petuah KH. Hamim Jazuli, diluar buku, diluar Bangku masih ada Kampus yang lebih besar, yaitu Kampus Tuhan, Kampus Kehidupan. Saya sependapat dengan kata-kata beliau, karena Kehidupan memang mempunyai scope yang maha luas, kadang kita tidak merasa bahwa kita tengah terkungkung dalam kotak-kotak kehidupan pribadi yang sebenarnya kita rancang dan kita buat sendiri. Kotak kreasi itulah yang membatasi angan kita, membatasi imagi kita, dan akhirnya mengerdilkan pikiran dan pandangan kita. Kita terlalu nyaman dengan apa yang kita rasakan sekarang tanpa mau bergerak mencoba hal baru dan merasakan apa yang dirasa oleh Liyan. Padahal diluar jangkauan pandang yang terbatas itu, ada teladan-teladan hebat, ada banyak guru yang sebenar-benarnya guru, ada banyak pahlawan tanpa embel-embel gelar kepahlawanan, yang bisa kita teladani, yang bisa kita contoh, yang bisa kita keruk pelajaran darinya, dan yang bisa kita ambil kebijaksanaan dari sikap, pikiran, dan perbuatan mereka.
Itulah sedikitnya yang saya rasakan pasca kunjungan singkat dalam rentang waktu tiga hari di Jogja, banyak sekali pengalaman menarik nan berharga yang saya peroleh. Apabila ditimbang secara proporsional, apa yang saya kerjakan sebagai relawan, tidak sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Para pengungsi memberikan pengalaman, wejangan-wejangan, contoh, teladan, yang semuanya memperkaya pengetahuan saya tentang kehidupan, dan apabila dihitung secara seksama mempunyai nilai yang tak terhingga, jauh berbanding terbalik dengan apa yang saya kerjakan untuk mereka. Jadi, harus saya akui bahwa misi ke Jogja dalam kapasitas saya sebagai relawan bisa dikatakan GAGAL !!! Wallahu a’lam
0 Response to "Catatan Singkat tentang Merapi"
Post a Comment