Episode Anjing
Aku Merasa Tubuhku sudah menjadi Anjing,Tetapi Jiwaku mencoba Menulis Sajak,Sebagai Seorang Manusia. -Rendra –
Rendra, dalam salah satu sajaknya yang sedikit saya kutip di atas, mencoba menggambarkan realita sosial politik Indonesia pada masanya menggunakan sudut pandang seorang laki-laki tua, laki-laki yang selalu dipandang sebelah mata dalam konstalasi kehidupan bermasyarakat, laki-laki yang tubuhnya diibaratkan layaknya Anjing. Iya, Anjing memang kurang bernilai menurut sebagian besar masyarakat kita, barangkali karena itulah Rendra menautkannya dengan sosok lelaki tua tersebut.
Ironi Anjing
Dalam bidang Tulis-Menulis, Anjing bukanlah tema yang cukup menarik untuk dielaborasi menjadi sebuah tulisan, sensasi yang ditimbulkannya masih akan kalah dengan Parodi Demokrasi Negeri, Dagelan Penegakan Hukum ataupun tema lain yang lebih menjual. Hanya sedikit penulis yang berani bertaruh dengan cara mengangkatnya menjadi tema sentral tulisannya. Dalam sajak di atas itupun, Anjing hanya digunakan Rendra sebagai Pelengkap. Dari sini bisa dilihat bahwa anjing hanyalah makhluk ‘rendahan’, tak ada ruang bagi eksistensinya. Namun jangan salah, hewan satu ini pernah membuat Sang Hyang Indra pusing bukan kepalang.
Alkisah, ketika Yudhistira mengakhiri perjalanan Panjangnya menuju keabadian, Hyang Indra mendapat Tugas untuk menyambut sekaligus menjemputnya dengan Kereta Kencana di depan Regol Surgaloka. Dengan unggah-ungguh yang khas, Hyang Indra mempersilahkan Yudhistira menaiki Kereta yang telah disiapkan menuju Keabadian, namun diluar dugaan, Yudhistira mengajukan satu syarat, Pandawa paling tua ini hanya akan mengikuti kereta Hyang Indra jika diperbolehkan membawa serta Seekor Anjing kecil yang telah menemaninya dalam perjalanan panjang menuju Gerbang Surgaloka. Prasyarat yang diajukan Yudhistira ini membuat Hyang Indra pusing tujuh keliling, Anjing adalah binatang ‘najis’ yang jika dibawa hanya akan mengotori Kesucian Surga, terlebih lagi instruksi yang didapatkan Hyang Indra hanya sebatas membawa Yudhistira seorang diri, tak lebih.
Seolah mengetahui kegalauan hati Indra, Yudhistira berkata dengan bijaknya, ‘Kalau engkau larang aku membawa serta Anjing ini, biarlah Aku di sini, Anjing ini lebih berhak menemanimu memasuki Surga karena Kesetiaannya’. Mendengar ucapan Yudhistira, kebingungan Hyang Indra semakin menjadi, dalam hatinya ia bergumam, Manusia Model apa Yudhistira ini, menolak Kenikmatan Surga demi seekor Anjing. Dalam Kebingungannya yang mendalam itu, tiba-tiba si Anjing Kecil berubah wujud menjadi sosok Brahma, Dewata yang tengah menyamar menjadi binatang untuk menguji keteguhan Hati Yudhistira, dan ternyata Yudhistira lulus dari ujian. Hyang Indra pun tersenyum, tak ada lagi kebingungan dalam hatinya. Berdua bersama Yudhistira mereka melenggang mulus memasuki Surgaloka.
Dekonstruksi Paradigma ala Entikong
Dunia Pewayangan memang cukup dekat dengan kehidupan saya, dimana beberapa Lakon diantaranya mampu mewarnai pandangan saya tentang kehidupan, termasuk kisah di atas. Bodohnya, bukan ketulusan hati Yudhistira yang bisa saya tangkap, namun adegan yang diperankan oleh Hyang Indra di Depan Gerbang Surgaloka tentang ‘Kerendahan’ Seekor Anjing itulah yang sangat melekat dalam benak saya. Terlebih lagi, internalisasi ajaran keagamaan yang saya peroleh semenjak kecilpun seolah melegitimasi hal tersebut, sehingga terbentuklah suatu konstruk ‘Paradigma Negatif’ dalam alam bawah sadar saya mengenai hubungan yang ideal antara Manusia dengan Anjing.
Dalam Pandangan tersebut, Manusia dan Anjing diposisikan dalam domain berbeda dan dipisahkan oleh Garis Demarkasi berupa ‘Nilai Mutlak’ Suci-Najis, dimana ‘Suci’ dan ‘Najis’ mempunyai hubungan yang saling menegasikan. Untuk Mencapai Kesucian hidup, manusia harus membebaskan diri dari hal-hal ‘najis’ yang mampu menjerumuskannya kedalam Jurang Kerendahan dan Kenistaan. Proses penyucian ini akhirnya diakomodir dengan adanya berbagai macam Ritual Budaya ataupun Keagamaan. Namun, adanya kesempatan ‘berdamai’ dengan Konsep Najis ini, tetap tidak mengubah relasi subordinatif antara Suci dan Najis. Intinya, “Jangan dekat-dekat dengan Anjing, Najis !
Pandangan inipun terus menemani keseharian saya, sampai akhirnya konstruksi itu roboh pada akhir Juli 2010, bulan yang sangat spesial. Pada bulan itulah, untuk pertama kalinya saya bisa berinteraksi secara intens dengan Anjing, makhluk yang selama ini saya anggap rendahan, tak bernilai, dan tentunya Najis. Interaksi ini bermula ketika saya mendapat tugas untuk ‘belajar’ di Tanah Entikong Kalimantan Barat, wilayah Perbatasan Republik Indonesia dengan Negeri Jiran Malaysia, melalui Program Kuliah Kerja Nyata (K2N) Universitas Indonesia 2010.
Di Entikong, tepatnya di Dusun Punti Tapau dan Meraga (Lokasi K2N), Para Anjing bisa berkeliaran di perumahan warga dengan sangat bebasnya, sebuah Fenomena yang tak pernah saya temui di desa saya. Hal ini wajar adanya karena Anjing (Masyarakat tapau memanggilnya dengan sebutan Kosuh) merupakan ‘teman hidup’ warga. Awalnya saya agak risih dan terganggu, apalagi ketika si Kosuh ini dengan seenak hatinya selalu menggerocoki proses Masak saya dan kawan-kawan saya, ditambah lagi dengan kebiasaan jeleknya berjalan hilir mudik di ruang tamu dengan tubuh kotornya, maka lengkap sudahlah kerisihan yang saya rasakan. Tapi, lama kelamaan rasa risih saya luntur berganti dengan kekaguman.
Setiap hari, ketika kami (saya dan kawan-kawan satu kelompok) berangkat untuk memberikan pengajaran di Sekolah Dasar Punti Tapau, ada Seekor Kosuh yang selalu mengikuti langkah kami dan setia menunggui kami sampai akhir pelajaran. Kosuh tersebut adalah Peliharaan Bapak Kepala Desa yang Rumahnya kebetulan ditinggali oleh Rekan Kelompok Saya. Yang membuat hati saya ‘trenyuh’ adalah, ketika Setiap Hari Sabtu kami harus memberikan pengajaran di Dusun Punti Engkaras yang jaraknya lumayan Jauh, kurang lebih satu jam perjalanan kaki melintasi hutan dengan jalanan licin naik turun bukit, Kosuh itu selalu menjaga kami dengan setia. Dia berperilaku layaknya Body Guard sekaligus penunjuk jalan, seolah-olah ia menganggap kami anak kecil yang buta arah dan perlu tuntunan.
Si Kosuh Selalu berjalan di depan, ketika ia merasa kami tertinggal cukup jauh, dia akan berjalan berputar-putar menanti kami. Apabila ada Babi yang menghalangi jalan, ia akan mengusirnya, bahkan karena tindakan patriotiknya ini ia pernah bergelut cukup seru melawan seekor Babi yang badannya lebih Besar dari tubuh mungilnya. Kejadian inipun berlanjut, keberanian Kosuh harus dibayarnya dengan mahal. Pagi beranjak siang, ketika semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, tiba-tiba terdengar teriakan khas si Kosuh diiringi lengkingan suara Babi. Usut punya usut, suara ribut ini berasal dari kolong rumah yang biasa digunakan masyarakat Tapau sebagai Kandang Babi. Tak dinyana, si Kosuh mengikuti kami pulang ke rumah Bapak Kiyong. Sama Seperti warga lain, Pak Kiyong juga memanfaatkan kolong Rumahnya sebagai Kandang Babi, dan entah karena alasan apa si Kosuh bisa tersesat masuk di dalamnya.
Tragedi ini berlanjut, melihat adanya makhluk lain yang bisa mengancam ketentraman tempat tinggal nya, Babi yang ada dalam kandang tersebut bereaksi dengan menyerang si Kosuh, Si Kosuh tak tinggal diam, iapun berupaya mempertahankan diri, hingga pertarungan antar dua hewan dengan spesies berlainan ini pun tak bisa lagi dihindarkan. Cukup lama si Kosuh bergumul dengan babi Bapak Kiyong, sampai akhirnya ada Tukang Sayur yang ‘mau’ menolong si Kosuh Keluar dari Kandang babi tersebut. Tubuh Kosuh berlumuran darah, ada goresan luka cukup panjang di bagian kiri tubuhnya, dengan tertatih-tatih dia melenggang pulang menuju Rumah Bapak Kepala Desa.
Pasca kejadian berdarah di Kandang Babi itu, si Kosuh berulah lagi. Rupanya hewan satu ini tak mengenal kata Jera., dia hampir bertarung, namun kali ini dengan Anjing Warga Engkaras yang menggonggongi kami. Sepertinya Kosuh tak bisa menerima gonggongan tersebut, jiwa patriotiknya membuncah, Kosuh pun ikut menggonggong seolah menantang anjing yang tengah menggonggongi kami. Gonggongan dua Anjing ini terdengar sahut menyahut tanpa henti, sepertinya akan terjadi pertarungan yang cukup hebat, tapi nyatanya si Kosuh lari terbirit-birit setelah melihat Anjing yang menggonggongi kami berbadan lebih tegap, Besar, dengan warna hitam yang menyeramkan.
Belajar dari Anjing
Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan Kepada siapa saja. Tak ada sekat temporal ataupun spasial yang bisa merintangi manusia dari kegiatan belajar ini. Bahkan Tuhan pun dalam wahyu Pertama-Nya kepada Muhammad berkata ‘Bacalah’ (96:1). Dalam tafsirannya akan ayat ini, KH. Cholil Bisri dari Rembang (2004) pernah mengungkapkan bahwa Kata ‘Bacalah’ menunjukkan penekanan Tuhan akan pentingnya proses ‘Belajar’ bagi manusia, ayat tersebut juga mengindikasikan Suatu Perintah Tuhan Kepada Manusia untuk Belajar melalui Proses Membaca, membaca apa saja.
Saya kira penuturan Kyai Cholil tersebut benar adanya. Membaca tidak sekedar aktifitas mata dan otak dalam menyerap makna dari sebuah Teks, lebih dari itu, membaca adalah aktifitas semua pancaindera manusia yang berpusat pada Hati dan Fikiran. Oleh karena itu, Alam yang sangat megah dengan Tegapnya Karang dalam menahan Ombak, Sikap gerak Tumbuhan, Perilaku Manusia dan Hewan adalah bagian dari Obyek Bacaan Manusia. Dari Keseluruhan Proses membaca itulah, manusia belajar mengenai Hidup dan Kehidupan.
Anjing pun termasuk Obyek Bacaan. Karena itu dalam Interaksi saya dengan Kosuh selama satu bulan penuh, saya belajar banyak dari hewan satu ini. Kosuh juga berjasa besar dalam memberikan Frame baru bagi saya dalam memandang hubungan antara Manusia dengan Binatang. Sepertinya Robert Benchley (1889) benar ketika ia mengatakan ‘ …. A Dog teaches a boy fidelity, perseverance …. ‘ . Anjing mengajari kita arti dari Kesetiaan, sebuah kata yang sepertinya sangat jauh dari realita kehidupan sosial kita sekarang.
Kesetiaan mempunyai banyak arti, bagi Pegawai Negeri Kesetiaan bisa bermakna keteguhan hati dalam memegang sumpah dan kode etik jabatan. Dalam budayaBritish, Pegawai Negeri disebut sebagai Public Servant atau Pelayan Masyarakat. Sejatinya ia adalah Jongos yang harus patuh dan setia pada Orang yang harus dilayaninya. Apabila ‘mental’ Anjing ini bisa dipakai oleh Public Servant kita, niscaya kasus Gayus tak akan pernah ada. Wallahu a’lam.
Untuk Kosuh Kami di Punti Meraga,
0 Response to "Episode Anjing"
Post a Comment