Kotak Cita-Cita dari Perbatasan
‘… Mimpi, adalah Kunci, Untuk kita Menaklukkan Dunia. ‘ (Nidji)
Di Pelosok Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Jogja dan Kota-kota besar lain di Indonesia, cukup mudah menjumpai anak-anak yang sangat Fasih mengartikulasikan angan-angan dan cita-citanya ketika ia Dewasa kelak. Bahkan sebagian besar dari mereka mampu mengungkapkan secara runtut dan terstruktur Metodologi serta fase-fase apa saja yang harus mereka lewati untuk menggapai cita-citanya itu. Sandy dengan cita-cita Penelitinya, Dela dengan Konsultan K3 nya, Lona dengan Psikolognya, Sekar dengan Antropolognya, serta Aza dengan semangat Pustakawannya, adalah contoh kecil dari anak-anak itu, anak-anak dengan kecerdasan Modern yang pernah saya temui.
Kotak-Kotak Attar
Apa yang Sandy, Dela, Lona, Sekar, dan Aza cita-citakan, tidaklah muncul secara tiba-tiba dari sebuah ruang hampa yang bebas nilai, ada proses Evolutif yang mengantar kesadaran mereka untuk sampai pada tingkatan ‘ingin menjadi’. Ingin menjadi Peneliti, Konsultan K3, Psikolog, Antropolog, ataupun ingin menjadi Pustakawan. Proses Evolutif tersebut mau tidak mau harus bersinggungan dengan berbagai macam hal, sehingga timbullah hubungan interdependensi yang menyebabkan masuknya beberapa pengaruh dari luar, termasuk Kondisi Geografis Lingkungan dan Keadaan Sosial masyarakat.
Ketika Masyarakat cenderung terbuka, dimana Akses terhadap Informasi, Pendidikan, dan infrastruktur yang ada cukup memadai, akan terbuka pula imajinasi Anak-anak yang hidup dalam lingkup sosial Masyarakat tersebut, sehingga mereka semakin terdorong untuk menggantungkan Cita-Cita nya lebih tinggi lagi. Begitu juga sebaliknya, dalam lingkup sosial masyarakat dengan ketersediaan akses terhadap sektor-sektor utama kehidupan yang terbatas atau DIBATASI, imajinasi anak-anak untuk merangkai cita-cita juga terbatas pula.
Mereka yang mempunyai keterbatasan Akses tersebut, dengan sendirinya akan terkungkung dalam keterbatasannya itu, karena secara alamiah akan terbentuk Kotak-kotak pembatas yang membatasi pandangan dan imajinasi mereka. Konsep Dialektika antara Manusia dengan ‘Kotak Pembatas’ ini pernah digambarkan dengan cukup gamblang oleh Fariduddin Attar, seorang sufi dan penulis terkenal, beberapa abad lalu. Menurut Attar, dalam proses hidupnya, manusia selalu berada dalam kungkungan Kotak-Kotak yang membatasi dirinya. Karena kotak-kotak itulah manusia teralienasi dari kehidupannya sendiri. Ketika ia mampu keluar dari kungkungan dan belenggu kotak-kotak tersebut, maka kesadaran tertingginya sebagai manusia akan hadir, potensi Kemanusiaannya akan Muncul, dan pada saat itulah dia benar-benar menjadi Manusia Seutuhnya.
Kotak itu berlabel ‘Perbatasan’
Medio 2010, Kotak-Kotak Attar itu muncul di depan mata saya. Ketika itu saya mendapat kesempatan selama satu bulan penuh untuk hidup bersama Masyarakat Perbatasan di Daerah Kalimantan Barat, tepatnya di Dusun Punti Tapau Kecamatan Entikong melalui Program Kuliah Kerja Nyata (K2N) Universitas Indonesia 2010. Banyak sekali pengalaman berkesan yang saya dapatkan, salah satunya adalah pengalaman ketika saya menjadi pengajar di sebuah SD kecil yang agak sulit untuk dijangkau.
Di SD itu, saya bertemu dengan anak-anak yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Mereka adalah anak kandung masa Depan yang terbuang, anak pertiwi yang tercampakkan. Diantara mereka ada Marmik, Sipa, Kalalo, Lupeng, dan Ngep. Orang Tua Mereka berprofesi sebagai Petani, lebih tepatnya Petani Sahang. Sehingga sangat Wajar ketika saya bertanya, Apa Cita-Cita kalian, dengan yakinnya mereka berteriak ‘PETANI’. Namun, jangan pernah membayangkan bahwa alasan mereka ingin menjadi Petani adalah karena ketertarikan mereka terhadap iming-iming kesejahteraan. Bukan itu ! Dimanapun, diseluruh penjuru Negeri AGRARIS ini, apalagi di daerah Perbatasan, Prospek Kesejahteraan Petani tidak lebih besar dari Pemulung atau bahkan Pencoleng.
Kata PETANI muncul dari teriakan mereka karena hanya itulah satu-satunya kenyataan yang mereka tahu. Dokter, Pengacara, Presiden, Menteri, Pilot, Tentara, Diplomat, bagi mereka hanyalah Impian yang terlalu jauh untuk dikejar, sekedar cita-cita yang terlalu tinggi untuk diraih. Mereka takut untuk bermimpi, karena mereka tahu bahwa impian mereka akan kandas terbentur batas-batas yang selama ini melingkupi kehidupan mereka di Perbatasan.
Hati saya pun trenyuh. Karena itu, saya dan kawan-kawan satu kelompok, dalam setiap kesempatan yang ada, selalu berusaha untuk memberikan dorongan dan semangat kepada mereka Supaya Berani bermimpi. Hasilnya diluar dugaan, setelah bersinggungan dengan mereka secara intens selama Satu Bulan penuh, ada perubahan yang cukup signifikan pada diri mereka. Impian anak-anak itu mulai tumbuh. Marmik, Sipa, Kalalo, Lupeng, Ngep, beserta kawan-kawannya di Punti Tapau Kecamatan Entikong ternyata memang perlu dorongan, mereka perlu role model yang bisa mereka tiru, dua hal yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan. Buktinya, sebelum Meninggalkan Tanah Entikong, saya kembali menanyakan Pertanyaan yang sama untuk Mereka, ‘Apa Cita-cita Kalian ?’, Kali ini jawaban Mereka Beraneka ragam, Marmik Teriak ‘Guru Agama’, Sipa teriak ‘Dokter’, Kalalo teriak ‘Vokalis Band’, Lupeng Teriak ‘Pengusaha’, Ngep teriak ‘Pengacara’, dan banyak diantara kawan-kawan mereka yang meneriakkan Istilah-istilah lain yang sebelumnya mereka anggap asing.
Terus terang saya cukup lega, karena pada akhirnya Marmik, Sipa, Kalalo, Lupeng, Ngep, beserta kawan-kawannya di Punti Tapau Kecamatan Entikong memang berani untuk melangkah lebih jauh. Sayangnya, mereka bukanlah Sandy, Dela, Lona, Sekar, Aza ataupun anak-anak dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Jogja dan kota-kota besar lain yang punya kesempatan untuk menggapai Angan-angan dan cita-cita yang sudah dirangkainya. Anak-Anak Tapau ini tidak punya kesempatan untuk itu. Marmik, Sipa, Kalalo, Lupeng, Ngep, beserta kawan-kawannya di Punti Tapau Kecamatan Entikong, dalam batas-batas tertentu, baru mampu untuk bermimpi. Mereka Belum Bisa bangun untuk merealisasikan mimpi-mimpinya itu, karena jiwa dan fisik mereka masih tertidur dalam kungkungan Kotak-Kotak ‘KETERBATASAN’ a laPerbatasan, sehingga kesadaran dan Potensi Kemanusiaan mereka Masih tersandera. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang tengah menyandera Mereka ? Bisa Bambang, Bisa Budi, atau bahkan bisa saya ataupun anda. Wallahu a’lam
Untuk Sandy, Dela, Lona, Sekar, Aza dan Sahabat Kecilku di #Entikong,
0 Response to "Kotak Cita-Cita dari Perbatasan"
Post a Comment