Menjadi Pahlawan
Manusia disebut penjahat karena kejahatannya, disebut Ulama karena kapasitas Keilmuannya, serta disebut Pahlawan karena Sifat dan tindak Kepahlawanannya. K.H. Hasyim Asy’ari, Hatta, Soekarno, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim misalnya, dikenang oleh masyarakat luas sebagai seorang pahlawan karena sifat dan gerak heroik mereka. Tanpa kedua hal itu, nama mereka akan tenggelam sedetik setelah raga mereka terkubur dalam tanah.
Istilah Pahlawan yang muncul sebagai ekspresi logis dari Sifat Kepahlawanan seperti apa yang dicontohkan di atas, bukanlah hegemoni satu orang atau satu kelompok belaka. Ia milik semesta. Namun, dalam tataran Kenegaraan, Istilah itu kemudian direduksi sedemikian rupa sehingga penganugerahan gelar Kepahlawanan sekedar menjadi hak milik Negara yang tidak bisa diganggu gugat (UU 20/2009). Kuatnya dominasi Negara dalam hal Pemaknaan terhadap istilah Pahlawan ini sempat menuai kontroversi, karena secara substantif, ketika seseorang memiliki sifat-sifat Kepahlawanan lalu mengaktualisasikannya dalam realitas kehidupan sehari-hari, maka tanpa sebuah legitimasi berupa pengakuan dari siapapun, ia telah menjadi seorang pahlawan.
Ibu dan Semangat Kepahlawanan
Sejak jauh-jauh hari, kritik dan perlawanan terhadap pemaknaan tunggal ini pun sempat disuarakan oleh beberapa pihak, termasuk Zawawi Imron, Seorang Budayawan dan Penyair dari Madura yang bergelar Celurit Emas. Dalam hal ini Imron (1980) pernah menulis satu bait puisi, “Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan / Namamu ibu / yang kusebut paling duluan”.Tidak berlebihan kiranya jika seorang Zawawi Imron sampai mengagungkan Ibunya sedemikian Rupa dengan menempatkannya sebagai Pahlawan Nomor Wahid, karena memang, seandainya definisi Pahlawan dari Kamus Besar bahasa Indonesia (2008) yang berbunyi, “….. orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya”,digunakan sebagai acuan, maka legitimasi kepahlawanan seorang Ibu sangatlah kuat. Karena secara riil, keberanian dan pengorbanan Ibu tidak kalah dengan manusia manusia lain yang –secara formal- mendapat gelar Pahlawan, bahkan –secara subyektif- bisa dikatakan bahwa tingkat Kepahlawanan Ibu jauh lebih hebat.
Dahulu misalnya, K.H. Hasyim Asy’ari dengan berani menentang perintah Jepang untuk Merunduk Hormat ke arah Matahari Terbit (Seikerei) setiap pagi, padahal kekuasaan Bala Tentara Jepang pada saat itu sangatlah kuat dan bisa saja mereka melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun terhadap segala macam pembangkangan seperti apa yang telah beliau lakukan. Namun, Hasyim Asy’ari tetap berdiri tegak tanpa rasa takut sedikitpun, sampai akhirnya beliau harus mengorbankan diri untuk mempertanggungjawabkan tindakannya dengan menjalani hukuman dalam penjara dan mendapat sikasaan berat hingga jemarinya remuk. Bahkan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ (NU) yang mampu Menggelorakan semangat perlawanan 10 November 1945 juga tidak lepas dari Keberanian beliau dalam ‘mendobrak’ aras berpikir yang saklekdalam bidang Fiqih pada masa itu.
Bandingkan Keberanian dan Pengorbanan K.H. Hasyim Asy’ari tersebut dengan apa yang telah diperbuat Ibu demi Anak-anaknya. Dalam setiap Fase, selalu ada nilai-nilai pengorbanan yang dilakukan seorang Ibu, Misalnya dalam Fase Kehamilan. Fase ini merupakan fase yang paling sulit dan paling krusial bagi seorang ibu, perlu keberanian tingkat tinggi untuk melewati fase ini, sampai-sampai Al Qur’an melukiskannya dengan kata-kata, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah” (QS. 31:14).Dalam ayat lain, disebutkan pula,“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula” (QS. 46:15)
Dari dua ayat di atas, terlihat jelas bahwa dalam hitungan waktu yang terbentang mulai dari awal kehamilan sampai melahirkan, keseharian Ibu penuh dengan unsur-unsur Kepahlawanan seperti Keberanian dan Pengorbanan. Bahkan, Imam Nasa’i dan Imam Ahmad pernah meriwayatkan Satu hadist yang berbunyi, “.. Perempuan yang meninggal karena melahirkan adalah syahid”. Hadist tersebut secara eksplisit mencerminkan sebuah gambaran mengenai kemuliaan perjuangan seorang Ibu dalam proses Akhir Kehamilannya, sebuah derajat kemuliaan yang mungkin sebanding dengan apa yang didapatkan Pejuang-Pejuang Badar, Uhud, dan Pejuang-Pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Menjadi Pahlawan
Setiap manusia mampu menjadi Pahlawan, namun perlu usaha yang intens untuk sampai pada Derajat Kepahlawanan itu. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan meniru dan mengaplikasikan sifat-sifat Kepahlawanan dari para Pahlawan dalam kehidupan sosial sehari-hari, misalnya sifat-sifat Kepahlawanan K.H. Hasyim Asy’ari, Soekarno, Hatta dan sebagainya.
Sayang, Jarak Waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan para pahlawan angkatan 45 itu sudah mendekati usia 70 Tahun. Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air Kepahlawanan, dan boleh jadi kita sudah berada di bagian hilir sungai yang hanya terletak sejengkal dari muara. Karena itu, air sungaipun sudah semakin keruh, bahkan nyaris tak terlihat lagi warnanya karena telah tercemar oleh berbagai macam kotoran dan sampah Pamrih (Mustofa Bisri, 2007). Akibatnya, kepahlawanan hanya Tinggal namanya saja. sering diperbincangkan, tapi jarang menjelma dalam kenyataan hidup. Namun, dalam keruhnya aliran air Kepahlawanan tersebut, masih ada bening air yang bisa kita gunakan untuk mengobati dahaga kita. Sepercik bening air dari tetesan embun Keibuan yang keluar dari rahim Kepahlawanan Ibu.
Maka, jika kita merasa terlalu jauh dan terlalu sulit untuk melihat, menggapai, dan meniru sifat serta tindak Kepahlawanan Hasyim Asy’ari, Soekarno, Hatta dan sebagainya, lihat saja sosok ibu, dari keseharian beliau kita bisa berkaca, karena beliau adalah Pahlawan, dan karena Pahlawan itu dekat, maka jangan jauhkan ia.
Wallahu a’lam
0 Response to "Menjadi Pahlawan"
Post a Comment