Refleksi Idul Qurban
Dalam hidup, Manusia dan Binatang memiliki kaitan dan hubungan yang sangat erat. Selain karena fungsi dan nilai kebermanfaatan binatang dalam menunjang kinerja manusia, dalam khazanah Ilmu Mantiq (Logika) pun, dikenal satu adagium populer yang mencerminkan pola hubungan ini, dimana al-insan hayawan an-natiq, manusia adalah binatang yang berpikir. Adagium ini cukup provokativ karena dengan beranimenggambarkan secara vulgar bahwa manusia sangat identik dengan binatang. Namun harus diingat, bahwa kesamaan dan penyamaan ini pada akhirnya akan terbentur juga oleh adanya konsep an natiq, satu konsep yang menjadi garis demarkasi sekaligus label dari sebuah sistem kerja yang digunakan untuk membedakan dua buah entitas, manusia dan binatang. Tanpa an natiq, tanpa Proses Berpikir, manusia tak ubahnya seperti binatang.
Potensi Kebinatangan Manusia
Apa yang terungkap dalam adagium di atas merupakan satu bentuk isyarat dari sebuah kekhawatiran yang mendalam terhadap masa depan manusia dan kemanusiaan. Karena memang, secara alamiah manusia memiliki potensi kebinatangan dalam dirinya. Potensi kebinatangan ini merupakan bagian integral yang melekat dalam diri manusia. Thomas Hobbes (1651), melalui bukunya yang terkenalLeviathan, pernah menggambarkan pula dengan sangat gamblang mengenai Potensi Kebinatangan manusia ini, bahwa Homo Homini Lupus, Bellum omnium contra omnes. Manusia adalah Serigala bagi sesamanya, karna itu sering timbul friksi dan perpecahan hingga menyebabkan perang antar sesama. Dalam kaitannya dengan hal ini, Allah SWT pernah menyatakan, “ … mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.” (QS. 7:179)
Gambaran Allah SWT mengenai potensi Kebinatangan Manusia dalam ayat di atas semakin menegaskan kekhawatiran (juga ketakutan) yang pernah diungkapkan oleh Fx Rudy Gunawan, penulis Buku Animale Rationale yang berkisah tentang Fenomena Kebinatangan Manusia. Menurut Gunawan (2011), Keberadaan manusia sebagai Binatang jauh lebih mengerikan dibandingkan keberadaan binatang lain yang tidak berakal itu sendiri. Akal manusia memungkinkan terciptanya sebuah bentuk kebinatangan yang canggih, ganas, liar dan mengerikan. Karena dengan mempergunakan akalnya itulah manusia mampu menciptakan beragam inovasi luar biasa yang berpengaruh secara massif, entah itu Inovasi yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Jadi, bisa dibayangkan, ketika sifat-sifat kebinatangan seperti Kebiadaban, Kerakusan, Main Hakim Sendiri, Menipu, dan Egosentrisme berhasil mengalahkan nilai kemanusiaan dalam diri manusia, lalu berkolaborasi dengan seperangkat Inovasi seperti Senjata Api, Gergaji Mesin, Pentungan, kemampuan memutarbalikkan makna Ayat Kitab Suci, atau Bahkan Bom Atom, akan timbul ekses negatif berupa kerusakan luar biasa terhadap pola kehidupan dan keseimbangan alam, hingga menimbulkan tragedi berupa bencana kemanusiaan seperti Perang, Genosida, Terorisme, Penjajahan, sampai bencana ekologi layaknya Banjir, Tanah Longsor dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri, Potensi Kebinatangan dalam diri manusia seringkali mencuat dalam berbagai macam bentuk dan rupa. Setiap hari, puluhan Surat Kabar, Radio, dan Televisi selalu menayangkan dan mengekspose berbagai macam bentuk kebinatangan manusia itu. Tawuran Pelajar, Pembunuhan Anak terhadap Orang Tua ataupun Orang Tua terhadap Anak, Penindasan yang berkuasa terhadap yang dikuasai, yang kuat terhadap yang lemah, si Kaya terhadap si miskin, Korupsi, Nepotisme, Penyuapan adalah contoh kecil dari Fenomena ini.
Qurban dalam Perspektif Kemanusian
Idul Adha atau biasa juga disebut dengan Idul Qurban, menawarkan sebuah cermin yang bisa kita gunakan untuk berkaca sehingga kita mengetahui bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi ancaman-ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang muncul dari setiap potensi Kebinatangan kita. Dahulu, ketika Ibrahim mendapat perintah Allah untuk menyembelih satu satunya putera yang dikasihi, yaitu Ismail, tanpa Ragu Ia melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi, sebelum pedang Ibrahim menyentuh Kulit Ari Ismail, tubuh Ismail telah digantikan oleh Allah SWT dengan Domba Surga. Peristiwa sejarah ini kemudian menjadi semacam preseden hukum bagi setiap anak cucu Ibrahim, bahwa dalam waktu yang sudah ditetapkan, mereka diperintahkan untuk meniru Sunnah moyangnya ketika melaksanakan perintah Allah tersebut. Karena itu, setiap tanggal 10 Dzulhijjah, kita bisa melihat bagaimana setiap orang yang merasa ‘mampu’, seakan-akan berlomba melaksanakan perintah Qurban dengan menyelenggarakan sebuah prosesi penyembelihan, mulai dari menyembelih Kambing, Kerbau, ataupun Sapi.
Prosesi Penyembelihan Hewan Qurban itu sendiri menurut saya berlangsung dengan sangat simbolis dan suci. Allah SWT berfirman “Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya, akan tetapi yang sampai kepadaNya adalah ketaqwaannyaa” (Q.S. 22:37). Memang, secara fisik bukan Daging dan Darah dari Hewan Qurban itu yang sampai kepada Allah, tetapi bukan berarti juga bahwa tidak ada satu pembelajaran yang bisa kita petik dari Prosesi ini, karena prosesi ini bukanlah sekedar prosesi seremonial yang hampa nilai. Dalam hal ini K.H. Mustofa Bisri (2010) pernah berujar, Sembelihlah Nafsu Kebinatanganmu dan Sisakan Naluri Kemanusiaanmu. Kata-kata Gus Mus tersebut memang terdengar sederhana, namun dibalik kesederhanaannya, kata-kata itu nyatanya mampu merangkum semua pembelajaran yang bisa kita petik dari prosesi suci penyembelihan hewan Qurban ini. Lihat saja, secara prosedural, dalam setiap Prosesi Penyembelihan Qurban, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah mengenai ketajaman Pisau dan ketrampilan Penyembelih. Apabila Hewan Qurban dianalogikan sebagai Potensi Kebinatangan Kita, Pisau adalah Senjata, dan Ketrampilan Penyembelih adalah Skill kita dalam mempergunakan senjata itu, maka yang kita perlukan untuk menyembelih Nafsu Kebinatangan kita adalah Pisau tajam berupa kesabaran dan Taqwa, serta Ketrampilan yang kita peroleh melalui proses Pembelajaran secara terus menerus yang dinamakan Istiqomah.
Lebih lanjut, Istilah Idul Qurban itu sendiripun sebenarnya cukup menarik. Apabila ditelaah dari segi Bahasa, Idul Qurban berasal dari kata Id dan Qurban. Id berakar dari kata aada, yang bermakna kembali, sedangkan Qurban, berasal dari kata qaraba, yang bermakna mendekat. Dari sisi ini bisa dimaknai bahwa Idul Qurban merupakan satu momentum untuk merenung dan menyusun strategi demi memetakan kembali segala jalan yang mampu kita tapak dan segala tindak yang dapat kita lakukan untuk mendorong dan membuat kita lebih dekat dengan Sang Khalik. Namun, Dalam konteks ini, melalui simbolisasi yang terkandung dalam Prosesi Penyembelihan Hewan Qurban, bisa kita lakukan pemaknaan ulang terhadap istilah Idul Qurban, yaitu menjadikan momentum ini sebagai gerbang awal untuk kembali mendekati ruang ruang kemanusiaan yang semakin hari semakin menjauh karena kalah bersaing dan akhirnya tersisih oleh segala macam ekspresi dari potensi kebinatangan kita, hingga akhirnya kita mampu untuk menghidupkan kembali ruang-ruang kemanusiaan itu dengan cara mengisi dan memenuhinya dengan segala macam kebaikan sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan manusia atas pernannya sebagai Khalifatullah,pengganti Allah di muka bumi.
Akhirnya, Sebagai Refleksi Pasca Idul Qurban, ada satu pertanyaan yang bisa kita munculkan sebagai bentuk otokritik yang konstruktif, Apakah Potensi Kebinatangan Kita Telah Tersembelih sehingga Mayoritas diri kita dipenuhi oleh Nilai-Nilai Kemanusiaan ? jika Nafsu Kebinatangan masih memenuhi ruang-ruang disegenap relung hati hingga membelenggu kemanusiaan kita, maka Qurban tidak lebih dari sekedar Kegiatan Seremonial belaka. Wallahu a’lam
0 Response to "Refleksi Idul Qurban"
Post a Comment