Anak-anak Mengajar
Ada satu pepatah kuno yang menyatakan bahwa “Waktu lebih berharga dari Segala macam perhiasan Dunia”. Dan Mungkin saja, dari kalimat bijak itulah Mitch Albom mendapat inspirasi untuk menulis Buku terbarunya yang berjudul The Time Keeper. Sebuah buku yang berkisah mengenai Arti Penting Waktu bagi Manusia. Ya, Albom benar. Waktu memang sangat berharga. Ia selalu bergerak maju, tak pernah bisa kembali, tak mungkin bisa dibeli. Karena itulah, maka, di sela-sela waktu istirahat Kantor, saya selalu berusaha untuk memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin, salah satunya dengan mengalokasikan sedikit waktu yang ada itu untuk sekedar membaca ulang buku-buku digital koleksi saya. Atau, kadangkala saya juga menyempatkan diri untuk menumpahkan refleksi singkat mengenai apa yang sudah saya baca itu dalam sebuah tulisan. Tapi, Karena waktu istirahat yang diberikan tergolong pendek, biasanya saya hanya melakukan Skimming atau Baca Cepat. Meskipun demikian, Cara baca ini cukup efektif bagi saya karena buku-buku yang saya baca di masa istirahat itu kebanyakan sudah pernah saya baca sebelumnya. Jadi, dengan hanya membaca secara sekilas, saya masih bisa menangkap setiap pesan dan detail kecil dari buku itu.
Siang inipun, saya mencoba untuk membaca ulang sebuah buku. Kali ini, buku yang saya pilih adalah Buku The Fifth Mountain karya Penulis Favorit saya, Paulo Coelho. Buku ini cukup menarik, meskipun tidak semenarik buku Coelho yang lain, seperti Aleph, The Alchemist, The Pilgrimage, atau bahkan Like The Flowing River, tapi, tetap saja, banyak pelajaran hidup yang bisa saya petik dari buku ini. Itulah hebatnya Coelho. Kata demi kata yang ia rangkai, benar-benar mampu mengetuk hati sekaligus memberi inspirasi bagi setiap orang yang membacanya. Kisah dalam buku ini, secara nyata menegaskan Kepiawaian Coelho itu, dimana melalui Karakter Elijah, ia membawa Pembacanya untuk menyelami Dunia Seorang Nabi, dunia yang penuh tantangan, intrik dan Perjuangan. Namun, dari tantangan dan perjuangan itulah, pada akhirnya Elijah berhasil menemukan Kesejatian Diri.
Melalui kisah Elijah ini, Coelho ingin menunjukkan kepada para pembacanya bahwa seorang Nabi, sebenarnya bukanlah makhluk superior. Ia adalah Manusia biasa, sama seperti manusia-manusia lain yang ada di muka bumi, sama seperti Saya, seperti anda, seperti kita. Dan, ketika dalam buku ini Coelho berkisah mengenai kehidupan dan perjuangan seorang nabi, mengenai bagaimana ia hidup, bagaimana ia melangkah, dan bagaimana ia sampai pada tujuan yang diinginkannya, sebenarnya Coelho ingin mendorong Para Pembacanya untuk meniru, kemudian mengimplementasikan segenap tindak dan setiap laku dari Karakter Nabi yang ia kisahkan. Proses Peniruan ini tidaklah Mustahil untuk dilakukan, kenapa? Karena sekali lagi, Nabi adalah Manusia biasa, sama seperti Kita.
Nabi bisa menangis, kitapun juga bisa menangis; Nabi bisa tertawa, kitapun juga bisa tertawa, bahkan dengan terbahak-bahak; Nabi bisa merasakan Lapar, Kitapun juga bisa Lapar; Nabi bisa marah, begitu pula dengan Kita, bisa marah dengan amarah yang menyala-nyala. Jadi, tidak ada kategorisasi yang benar-benar bisa dijadikan sarana Pembeda untuk membedakan Manusia Biasa dengan Nabi, kecuali Wahyu. Selain Wahyu, tidak ada perbedaan lain. Nabi dan Manusia biasa adalah Sama, termasuk dalam bidang Pendidikan. Terkait dengan bidang ini, ada satu poin yang cukup menarik dari buku The Fifth Mountain yang patut untuk dicatat; Yaitu, bahwa Label Guru, sebenarnya bukanlah hegemoni Seorang Nabi. Karena, tidak hanya Sosok Nabi saja yang punya kemampuan untuk mendidik manusia, tetapi, Setiap manusia, tanpa terkecuali, adalah Guru bagi manusia lain. Setiap manusia adalah Teladan. Dari sini, bisa kita lihat bahwa melalui Kepiawaiannya dalam memainkan kata, Coelho berhasil menyampaikan pesan penting ini dengan sangat menawan. Bahkan dalam salah satu chapter, Coelho menguraikan dengan cukup gamblang bahwa Anak-Anak pun juga mampu bertindak sebagai Guru. Ia meyakini, bahwa ada beberapa ajaran kebajikan yang hanya bisa diajarkan oleh anak-anak. Sehingga, seorang Nabi sekalipun harus belajar dari mereka. Dan, hal inilah yang pada akhirnya diakui Nabi Elijah, sampai-sampai Elijah berkata,
“A child can always teach an adult three things: to be happy for no reason, to always be busy with something, and to know how to demand with all his might that which he desires. It was because of that boy that I returned to Akbar.”
Elijah mengakui, bahwa anak-anak adalah makhluk yang luar biasa. Dengan Keluarbiasaannya itu, Mereka, menurut Elijah, bisa mengajari orang Dewasa beberapa Hal, termasuk mengajari Bagaimana cara untuk Berbahagia tanpa perlu alasan pasti, mengajari Bagaimana agar Selalu bisa menyibukkan diri dengan Sesuatu yang tengah dihadapi, dan memberikan pelajaran bagaimana cara untuk menuntut sesuatu hal yang benar-benar sangat diinginkan dengan segenap jiwa raga. Sungguh, Anak-anak sangat lihai dalam ketiga bidang itu, Kata Coelho.
Berbeda dengan anak-anak, Orang Dewasa seringkali berpikir terlalu kompleks. Baginya, kebahagiaan adalah sesuatu hal yang memerlukan berbagai macam syarat untuk bisa eksis. Kebahagiaan adalah satu capaian yang harus diperjuangkan dengan gigih, kadang dengan berpeluh, bahkan berdarah-darah. Sehingga, demi mengejar kebahagiaan yang diproyeksikannya dengan cukup rumit itu, di akhir perjalanan, kadangkala hasil yang mereka peroleh adalah Kebalikannya. Mereka, pada akhirnya hanya mendapatkan Kesedihan, bahkan tangisan. Di sinilah peran Anak-Anak mulai terlihat, seperti apa yang diungkapkan Coelho melalui Sosok Elijah, di mana Anak-Anak bisa mengajari Orang Dewasa untuk berpikir Sederhana, untuk menikmati Masa “Sekarang,” bukan “Nanti.” Untuk Berbahagia “Saat ini”, bukan menggantungkan Kebahagiaan pada “Masa yang akan Datang”. Karena, Ketika Orang Dewasa mulai menaruh angan-angan kebahagiaannya di masa yang akan datang, ia telah melupakan kehadirannya di Masa “Kini.” Ia telah melewatkan potensi Kebahagiaannya itu dengan sia-sia.
Terus terang, Saya cukup menikmati Buku ini. Dan ketika sampai pada kalimat Elijah bahwa, “… a child can teach an adult three things …,” saya kembali teringat dengan kata-kata Gonzalo Rojaz yang pernah dikutip oleh Charlos Calica Ferer dalam Buku Becoming Che-nya. Di sana Calica Menulis, “The True Homeland of The Poet and each and every one of us is Childhood and youth. Because they are free, they are spontaneous.” Menurut Rojaz, Rumah sebenarnya dari Para penyair dan masing-masing dari kita adalah Masa Kanak-Kanak. Karena pada masa itu, mereka Bebas, mereka Spontan. Tak ada yang perlu mereka tutupi, tak ada yang mampu mengikat mereka. Anak-Anak itu Merdeka. Dan di sini, Sekarang, Kita Bisa meniru anak-anak itu. Walaupun sejenak, kita bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu kita, kita bisa memilih untuk Berbahagia, Kita Bebas untuk berbahagia, tanpa Perlu Alasan satupun. Karena, Kebahagiaan tidaklah bergantung pada hal lain, Kebahagiaan ada di dalam Hati Kita. Saat ini. Wallahu a’lam.
Untuk @Erika_Hapsari, @ElsaRidwan dan Fariz Noor Khotimah.
0 Response to "Anak-anak Mengajar"
Post a Comment