Memeluk Dursasana
“Ingatlah Dursasana, aku bersumpah tidak akan pernah menyanggul rambutku lagi sebelum keramas dengan darahmu”, ucap Drupadi penuh dendam. Hatinya hancur, di hadapan suaminya sendiri kehormatannya diinjak-injak. Air matanya berderai, tubuhnya meronta ketika tangan biadab Dursasana dengan semena-mena menyeret dan menjambak rambut Drupadi hingga sanggul dari Garwa Prameswari Yudhistira ini terlepas. Tak puas dengan tindakannya itu, Dursasana bertindak semakin lancang. Iaberusaha menelanjangi tubuh Drupadi dengan menarik selendang yang tengah dikenakan Sang Dewi. Tapi untungnya, dewata masih berbaik hati. Ia sabda selendang Drupadi, sehingga betapapun kerasnya usaha Dursasana untuk melucutinya, selendang itu terus memanjang, semakin panjang, sampai Dursasana kehabisan tenaga untuk menariknya lagi.
***
Demikianlah sepenggal adegan pasca kekalahan Yudistira ketika bermain dadu melawan Kurawa. Dan memang, kejadian di balai pertemuan Astina tersebut kemudian hari berhasil menggiring opini banyak orang untuk menaruh kebencian terhadap sosok Dursasana, menjadikannya musuh, dengan mendudukkan Drupadi sebagai tokoh perlawananannya. Karna itu, tak mengherankan ketika Bima berhasil merobek dada Dursasana di palagan Kurusetra, banyak orang bersorak-sorai, termasuk saya. Namun, ketika Dursasana diinjak-injak oleh Setyaki di Panggung pertunjukan Wayang Orang Bharata (WOB) dalam lakon Udawa Sayembara beberapa bulan yang lalu, hati saya berontak serasa tidak terima.
Dursasana Jakarta
Beberapa jam sebelum pertunjukan wayang orang dimulai, saya diajak kawan saya yang tengah menjalani pendidikan kewartawanan di Kantor Berita Antara untuk mewawancarai salah satu personel WOB. Oleh seorang tetua WOB, kami diarahkan menuju ruang make-up yang terletak di lantai dua, persis di samping kiri panggung. Tak mau membuang waktu terlalu lama, kami bergegas memasuki koridor sebelah kiri pintu utama, dan setelah mendaki tangga yang tidak terlalu tinggi, kami pun bertemu dengan seorang pria paruh baya yang tengah sibuk merias wajah. Alat riasnya cukup sederhana. Bahkan belakangan saya ketahui bahwa bahan-bahan yang dia pakai untuk berias, dibeli dari toko bangunan. Harganya murah, dan sekali beli bisa dipakai untuk satu sampai dua tahun pertunjukan.
Segera kami menyapa pria itu, dan setelah melihat kedatangan kami, ia menyunggingkan satu senyuman yang khas. Tanpa menaruh alat riasnya terlebih dahulu, dia memperkenalkan diri kepada kami. Nama Pria itu, Budi. Sudah cukup lama Budi tergabung dalam Komunitas Wayang Orang Bharata. Bahkan, Ia adalah generasi ketiga WOB setelah kakek dan ayahnya yang telah terlebih dahulu berkiprah dalam Kesenian Wayang Orang ini. Budi lahir dan besar di Jakarta, di sekitaran permukiman agak kumuh yang terletak di kawasan Priuk. Sejak kecil, Budi sudah terbiasa menyaksikan tingkah polah ayahnya dalam melakonkan pertunjukan wayang orang. Sehingga, tanpa mendapat pengajaran dan pelatihan khusus untuk memerankan karakter salah satu tokoh pewayangan, budi sudah terampil secara otodidak. Kemampuan berbahasa Jawa–alus-nya juga ia dapatkan dari sini. Terlebih lagi, pergaulannya dengan sesama putera-puteri pemeran wayang orang yang kebanyakan juga saudaranya sendiri di Gedung WOB, membuat penguasaan Budi terhadap bahasa moyangnya itu semakin tinggi.
Kami berbincang cukup lama dengan Budi. Gaya bicaranya yang santun dan humoris membuat kami, –terutama saya– semakin betah berlama-lama dengan dia. Sekali waktu, sambil menyapukan alat rias ala kadarnya ke sudut-sudut wajah, Budi bercerita dengan panjang lebar mengenai pengalamannya selama berkiprah di Komunitas Wayang Orang Bharata. Menurut penuturan Budi, Komunitas WOB yang biasa menggelar pertunjukan Wayang Orang tiap pekan di Bilangan Senen ini, adalah satu dari sedikit Komunitas Wayang Orang yang masih tersisa; Selain WOB, masih ada Komunitas Wayang Orang Ngesti Pandhawa di Semarang dan Komunitas Sriwedari di Surakarta yang tetap rajin mementaskan Kesenian Wayang Orang ini. Jelas, Kondisinya sangat Jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa-masa antara tahun 50 dan tahun 60-an ketika Kesenian Wayang Orang Masih berjaya, dimana cukup banyak Komunitas-Komunitas Wayang Orang yang kemudian Bermunculan di setiap daerah. Terus terang, Saya tidak terlalu heran dengan informasi yang disampaikan Budi, karena apa yang dialami oleh Kesenian Wayang Orang tersebut nyatanya memang cukup selaras dengan Kondisi Kesenian Ketoprak di Daerah saya. Namun, Kesenian Wayang Orang ini sepertinya agak sedikit lebih beruntung karena masih ada beberapa Komunitas yang masih bisa dan mau mempertunjukkannya, sedangkan Komunitas-Komunitas Ketoprak di Daerah saya sudah lama Gulung Tikar karena berkurangnya jumlah peminat terhadap kesenian ini.
Selain dari merosotnya jumlah peminat yang sangat drastis itu, minimnya jumlah Rupiah yang bisa diperoleh para Seniman Wayang Orang merupakan alasan lain dibalik tumbangnya komunitas-komunitas Kesenian Wayang Orang ini. Ambil contoh, Budi. Setiap kali tampil dalam pertunjukan Wayang Orang, jumlah uang yang bisa Budi dapatkan hanya berkisar antara 20 sampai 30 Ribu Rupiah saja. Padahal, menurut pengakuan Budi, tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia kerjakan, dan hanya dari Kesenian Wayang inilah ia menggantungkan hidupnya. Bisa dibayangkan, dalam rentang waktu 7 hari dalam satu Minggu, dimana hanya ada satu pertunjukan Wayang Orang dengan Pendapatan setiap kali tampil kurang dari 50 Ribu Rupiah saja, dengan Kebutuhan Keluarga yang semakin hari semakin bertambah, dengan Keperluan Sekolah anak-anak yang harus terus dibayar, apakah pendapatan Budi itu Cukup untuk memenuhi semuanya? Entah, yang pasti, sampai sekarang Budi masih tetapSurvivedalam menjalani kehidupannya. Pertanyaannya Kemudian, apa sebenarnya alasan yang mampu memaksa Budi sehingga ia mau menjaga Kesenian Wayang Orang itu dengan tetap mementaskannya? Sambil menyapukan Polesan Make Up terakhir ke wajahnya, Budi Menjawab, “Karena Cinta, saya mau tetap main walaupun hanya dibayar 30 ribu saja.”
Iya, Cinta. Memang terdengar agak Klise, tapi itulah kenyataannya. Bagi Budi, Kecintaannya yang sangat besar terhadap Wayang Orang inilah yang pada akhirnya mampu memaksanya untuk terus berkecimpung dalam Kesenian ini. Dan, terdorong oleh rasa penasaran yang menggebu dengan hasil rias wajah dan kostum yang dikenakan Budi, maka sebelum kami mengakhiri perbincangan yang sangat menyenangkan ini, saya menyempatkan diri untuk mengajukan satu pertanyaan pamungkas, “Dalam pertunjukan Wayang Orang nanti, Mas Budi berperan menjadi Siapa?, dengan senyuman yang cukup lebar ia menjawab, “Dursasana.”
Belajar Mencintai
“It is extraordinary how extraordinary the ordinary person is” Kata George Will dalam salah satu tulisannya. Mungkin saja George Will benar, Betapa luar biasanya keluarbiasaan orang-orang biasa. Sama seperti Penjual Sayur di Pasar, Kenek Kopaja di Jalanan, Pedagang Asongan di Angkutan Umum, Penjaja Jamu di Sudut Kampung, Eksistensi Budi sering terlewat oleh Mata fana sebagian besar dari Kita. Orang kecil seperti Budi, ada atau tidak adanya ia, tidak akan berpengaruh terhadap kita. Budi terlalu biasa untuk kita perhatikan. Tapi, karena “Biasa”-nya itulah, Budi terlihat luar biasa di mata saya. Tak heran, sewaktu Philip Osborne (2007) menanggapi ungkapan George Will di atas, dia berucap, “…dan bahkan yang lebih luar biasa adalah jumlah cerita yang mereka bawa kemana-mana.” Melalui perbincangan dengan Budi, saya membuktikan kebenaran dari ungkapan Will dan Osborne di atas. Saya merasakan Keluarbiasaan yang memancar dari sosok Budi yang terlihat Biasa itu. Saya mendengar banyak Cerita mengagumkan dari mulutnya, dan seandainya Budi ada di depan saya sekarang, saya akan berkata kepadanya, “Sira Guru Nyong …”
Ya, Budi adalah Guru Pinandita. Seperti halnya Plato yang pernah berkata, To Love is to Will The Good to The Other, Mencintai itu sebenarnya adalah menginginkan apa yang terbaik untuk orang yang dicintai. Bedanya, Plato baru sampai pada tataran Perkataan, Tataran Ide, Sedangkan Budi sudah sampai pada tataran tindakan, tataran aplikasi. Cintanya yang begitu besar kepada Kesenian wayang Orang membuatnya tergerak untuk melestarikan Kesenian tersebut, dan apapula yang lebih baik untuk Kesenian Wayang itu kecuali Kelestariannya? Tanyakan hal ini pada Budi, mungkin dia hanya akan tersenyum dan bekata, “Saya tidak tahu, yang pasti, saya tetap mementaskan wayang orang karena cinta.”
Ah, tiba-tiba saya ingin Memeluk Dursasana. Wallahu a’lam.
0 Response to "Memeluk Dursasana"
Post a Comment