Pasal tentang Perubahan
Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Ya, beberapa tahun yang lalu, waktu saya datang ke Baduy Dalam untuk pertama kali, saya dan beberapa kawan sempat tergoda untuk mencicipi kelapa muda asli Baduy. Kebetulan, Tepat sebelum masuk Kampung Cibeo, salah satu Kampung dari tiga Kampung Adat Baduy Dalam, ada kebun kelapa yang tidak begitu luas yang dimiliki oleh seorang warga Baduy Dalam. Di sana, kami berhenti sejenak, bercakap-cakap dengan pemilik kebun, sampai akhirnya kami memesan beberapa butir kelapa dari kebun bapak itu. Tak perlu menunggu lama, sebentar kemudian di depan kami sudah tersedia kelapa muda yang siap untuk diminum. Seteguk, dua teguk, sampai akhirnya air kelapa muda itu pun tandas masuk kedalam perut kami.
Setelah puas menenggak air kelapa muda dan merasa cukup melepas penat, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Cibeo. Sebelum pamit, kami menanyakan harga kelapa muda yang sudah kami habiskan. Jujur, saya terlonjak kaget ketika mendengar jawaban dari bapak penjaga kebun itu. Kata beliau, kelapa yang ia sajikan untuk kami memang tidak untuk dijual, ia memetikkan buah kelapa, semata-mata karna niatan untuk berbagi. Kalaupun kami mau memberikan uang, besaran nominalnya diserahkan pada kami. Dengan penuh ketakjuban, kami pun menyerahkan beberapa lembar rupiah, lalu pamit.
Setelah agak jauh meninggalkan kebun kelapa itu, saya kemudian bertanya kepada Babe Utun, Petualang, sekaligus Guide kami yang sudah ratusan kali berkunjung ke baduy dalam dan -tentunya- sudah mengenal Budayanya secara mendalam, “Memangnya ketentuan yang terdapat di Baduy Dalam mengenai transaksi hasil bumi antara mereka dengan orang luar itu seperti apa?”. Lalu, dengan gayanya yang khas, Babe Utun menjawab, “Bagi orang Baduy Dalam, menyebut jumlah nominal harga untuk hasil kebun masih dianggap Tabu, Pamali. Jumlah nominal uangnya diserahkan pada ‘pembeli’, tergantung keikhlasan masing-masing.” Entah jawaban Babe Utun itu Benar atau tidak, saya hanya bisa menerka dan menganggap itu sebagai kebenaran, karena tidak lama sebelumnya, saya sudah menyaksikan pembuktiannya secara langsung, dengan kepala, mata, dan telinga saya sendiri.
Baduy dan Perubahan
Sesuai dengan hukum alam, Waktu pun berputar, berputar Terus menerus tanpa henti. Dan Setelah tiga tahun lamanya, hari ini, Kejadian di Kebun kelapa itu terulang kembali. Ya, Masih sama seperti kejadian yang lalu, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Baduy luar, saya dan Kawan-Kawan akhirnya sampai kembali di Kebun Kelapa itu. Karna Kehausan, kami pun kembali memesan beberapa butir Kelapa seperti dulu. Tak lama, Kelapa pun sudah terhidang di depan kami, tanpa basa-basi kami segera meminumnya dengan lahap. Setelah itu, lakonnya berubah, berganti dengan kisah baru. Ketika kami menanyakan harga, Bapak penjaga kebun Kelapa yang beberapa tahun lalu saya temui itu, sudah tidak sungkan lagi untuk menetapkan harga bagi kelapanya. Sekedar informasi, Fenomena ini tidak hanya berlaku bagi komoditas Kelapa saja. Untuk hasil bumi yang lain, termasuk dalam bidang jasa, sudah tidak ada kata Tabu lagi untuk menetapkan dan menyebut nominal harga. Saya tidak mau menarik sabuah kesimpulan dari fenomena ini, yang jelas, tengah terjadi perubahan secara gradual pada masyarakat Baduy Dalam. Meskipun berlangsung secara pelan, perubahan itu ada, perubahan itu nyata.
Berubah dan Kuasa untuk Mengubah
Seperti halnya Baduy, Manusia juga berubah, bahkan selalu berubah-ubah. Karena pada dasarnya, manusia adalah a State of Becoming, Makhluk yang menjadi, bukan a State of Being atau Makhluk yang sudah jadi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, bisa dikatakan bahwa manusia adalah sebuah tanda dari sekian banyak Koma, bukan titik. Karenanya, dalam setiap rentang waktu hidupnya, manusia selalu berada dalam sebuah proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus tanpa henti.
Barangkali, dari sinilah Syech al Hijaz memperoleh ide untuk menulis mengenai empat Tipe Manusia dalam Kitabnya yang terkenal itu, Majalis al Saniyyah; Yaitu, Manusia yang Awalnya Baik dan akhirnya Baik; Manusia yang Awalnya Baik, Tapi Akhirnya Buruk; Manusia yang Awalnya Buruk, akhirnya baik; dan manusia yang Awalnya Buruk, dan akhirnya buruk pula. Dari paparan al Hijaz itu, kemudian muncul Pameo di kalangan Santri, bahwa, “Mantan Gali, luwih apik tinimbang mantan Kiai.” Mantan Bandit dan Penjahat masih lebih baik daripada mantan Agamawan”. Pameo tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai niatan untuk mengubah dirinya untuk menjadi lebih baik kemudian melaksanakan niatannya itu, ternyata masih lebih utama dibanding seseorang yang pada awalnya memiliki pengetahuan dan otoritas tertentu dalam bidang agama, namun pada akhirnya terjebak pada jurang kenistaan.
Keniscayaan Manusia untuk berubah itu, pada akhirnya juga menjadi landasan bahwa suatu sistem/keadaan buruk yang terlihat mapan atau stabil, ternyata juga bisa berubah (atau) diubah menjadi lebih baik lagi. Dan, Untuk sampai pada titik perubahan itu, diperlukan tangan keratif manusia untuk mengubahnya. Pertanyaannya kemudian, apakah manusia mau melakukan perubahan itu, ataukah ia hanya sekedar mau pasrah berpangku tangan menerima Keadaan? Wallahu a’lam.
0 Response to "Pasal tentang Perubahan"
Post a Comment