Hillary dan Gunung
Terus terang, saya agak tergelitik mendengar kalimat pembuka dari salah seorang kawan ketika ia diminta untuk memimpin sesi pembacaan doa sebelum kami memulai pendakian menuju Puncak Papandayan, kurang lebih sekitar satu bulan yang lalu. Kalau tidak salah ingat, saat itu dia mencoba untuk mengutip dan memparafrasekan salah satu ungkapan yang cukup terkenal dari Edmund Hillary (1953), pendaki pertama yang mampu menggapai puncak Everest. Sedikit menengok kebelakang, beberapa tahun yang lalu, setelah Hillary berhasil menapakkan kakinya di puncak tertinggi di dunia itu, Hillary kemudian berujar, “It is Not The Mountain that We Conquer, but Ourselves”. Dalam setiap Pendakian, bukanlah Gunung yang sebenarnya kita taklukkan, tapi diri kita sendiri. Begitu kata Hillary, dan seperti itu jualah pesan-pesan yang diucapkan kawan saya tadi.
Potensi Kesombongan Manusia
Ungkapan Hillary di atas, seperti yang dikemudian hari banyak dikutip oleh para pendaki gunung dan pecinta alam, termasuk oleh kawan saya itu, bisa jadi merupakan sebuah gambaran riil atau bentuk dari rasa kekhawatiran Hillary yang begitu mendalam terhadap potensi Kesombongan yang ada pada diri manusia. Kenapa Hillary menaruh perhatian besar terhadap masalah ini sampai-sampai ia memiliki kekhawatiran semacam itu? Barangkali, kekhawatiran Hillary ini muncul karena potensi negatif manusia ini ia anggap punya kemampuan destruktif yang bisa menjerumuskan dan menghancurkan Manusia itu sendiri. Ada banyak sekali contoh yang bisa diketengahkan. Dengan menyebut beberapa diantaranya, tentunya kita masih ingat dengan kisah Fir’aun, kisah Qarun, Dewata Cengkar, Rahwana, Duryudana, atau bahkan kisah terusirnya Setan dari Surga. Akibat kesombongan yang begitu akut itu, di akhir kisahnya masing-masing, Fir’aun dan Dewata Cengkar akhirnya tenggelam dimakan Laut, Qarun dan Rahwana akhirnya harus rela tertimbun tanah dan tertimpa Gunung, Duryudana akhirnya harus menemui ajal dengan cara yang cukup mengenaskan dimana tubuhnya yang gagah perkasa itu harus tercabik sampai berlumuran darah di palagan Kurusetra, sedangkan Setan? Setan beserta semua keturunannya harus terusir dari Surga dan menerima kutukan untuk hidup abadi di dunia, dan kelak juga di Neraka.
Apabila kita berkaca pada kisah-kisah tadi, rasanya kekhawatiran Hillary mengenai potensi Kesombongan manusia ini menjadi sangat relevan. Meskipun, dari sudut pandang Hillary sendiri, mungkin saja ia belum sempat bersentuhan dan kemudian bisa belajar dari kisah Fir’aun, Qarun, Rahwana, Duryudana atau bahkan Dewata Cengkar itu. Akan tetapi, setelah menempuh perjalanan panjang nan melelahkan untuk sampai ke Puncak Everest, Hillary kemudian sadar bahwa bibit-bibit kesombongan yang sangat berbahaya itu ternyata juga bisa menjangkiti para Pendaki, termasuk dirinya sendiri. Bahkan, mungkin saja, dalam diamnya, Hillary sempat merasakan adanya degupan-degupan kesombongan itu di dalam relung hatinya. Siapa tahu? Bayangkan saja, kalau misalnya kita ada di posisi Hillary, sewaktu kita mulai menapakkan kaki menuju puncak Himalaya, masing-masing dari kita hampir bisa dipastikan akan menyimpan angan-angan ini, bahwa ketika kita berhasil mencapai puncak tertinggi Everest, dunia akan menyambut kita dengan gemuruh sorak sorai perlambang apresiasi. Selain itu, Nama kita juga akan tercatat di buku sejarah dan kisah kita akan terus diceritakan dan diperbincangkan oleh begitu banyak orang di seluruh penjuru dunia. Akibat adanya angan-angan ini, ada rasa Jumawa yang kemudian mencuat. Terlebih lagi, ketika akhirnya kita sampai di puncak Everest, kita mungkin akan bergumam, atau bahkan berteriak, “Hai Dunia, lihatlah, belum ada manusia lain yang mampu menapakkan kaki di atas titik tertinggimu, belum ada manusia lain yang mampu menaklukkan gunung tertinggi di dunia ini, kecuali … Aku!”
Terlalu Berlebihan? Well, dalam kondisi normal, mungkin gumamam tersebut memang terkesan agak berlebihan. Tapi, dengan mempertimbangkan kondisi Psikologis manusia ketika berada pada sebuah situasi di mana keberhasilan, kebanggaan dan kebahagiaan bercampur aduk menjadi satu dalam satu waktu, seperti halnya ketika seseorang berhasil melampaui beragam rintangan hingga ia mampu menjejakkan kakinya di puncak gunung paling tinggi di dunia, kehadiran gumaman itu menjadi tidak terelakkan lagi. Untungnya, Hillary berhasil menaklukkan itu semua, sehingga, bukan gumaman kesombongan di atas lah yang ia ucapkan, tapi, ia lebih memilih untuk mengucapkan ungkapan fenomenalnya itu, bahwa ketika kita mendaki gunung dan sampai di puncak, sebenarnya “It’s not the Mountain that we Conquer, but Ourselves”.
Gunung Kehidupan
Buat saya sendiri, ucapan Hillary tersebut masuk dalam kategori shalih li kulli haal wa li kulli zaman wa makan, dalam artian bahwa makna dan pesan yang dikandungnya akan tetap relevan dalam setiap situasi, kondisi, dan dapat diterapkan pula dalam segenap sisi kehidupan. Gunung, bagi Hillary, adalah sebuah medan penempa hidup yang akhirnya berhasil ia gapai puncaknya, tentunya lewat perjalanan panjang dan berliku dengan tebusan berupa pengorbanan yang harus ia tunaikan terlebih dahulu. Sedangkan bagi saya, gunung punya makna lain. Gunung, bersama Sungai, Langit, Bintang, Matahari, Rembulan, Pepohonan, Hutan, Pantai, dan keseluruhan bagian lain dari alam adalah sebuah perlambang kehidupan, karena masing-masing bagian itu mampu menjadi cermin pembelajaran bagi manusia yang bisa dipergunakan sebagai bekal untuk menjalani proses hidupnya masing-masing.
Seperti halnya Laut dan Pantai yang acapkali dianggap sebagai simbol Kejujuran dan Keterbukaan, dalam hal ini, Gunung bisa dimaknai sebagai perlambang Impian atau pencapaian tertinggi dari seorang manusia. Impian atau Pencapaian tertinggi ini bisa disebut dengan banyak istilah. Kadang, kita menyebutnya dengan istilah kesuksesan, profesi, jabatan, prestasi, kekayaan, dan dalam kesempatan lain, kita juga biasa menyebutnya dengan istilah status, pasangan, titel atau sebutan-sebutan lain. Akan tetapi, apapun sebutan yang pada akhirnya kita pergunakan, semuanya akan bermuara pada satu makna pamungkas, yaitu Impian atau Capaian Hidup.
Proyeksi akan Impian atau capaian hidup ini lah yang selama ini mampu mendorong manusia untuk terus berusaha dan bergerak menjalani kehidupannya. Bermula dari langkah paling awal dalam rentang waktu hidupnya, setiap manusia, siapapun dia, akan memulai untuk merancang dan membangun Gunung pribadinya sebagai simbolisasi atau proyeksi dari capaian yang mereka angankan untuk digapai. Proses pembangunan Gunung ini tentunya tidak sama bagi setiap orang, karena ada banyak sekali faktor eksternal yang sangat berpengaruh dalam proses pembangunan ini. Misalnya saja, bagi seseorang yang memiliki akses yang sangat terbatas terhadap informasi, pendidikan dan kesehatan, tentunya Gunung Impian yang ia bangun akan jauh berbeda dengan Gunung Impian yang dibangun oleh mereka yang memiliki akses tinggi terhadap ketiga hal tadi.
Terkait dengan hal ini, saya memiliki pengalaman menarik yang bisa dijadikan contoh. Sekitar empat tahunan yang lalu, saya pernah mendapat tugas belajar ke luar pulau. Saat itu, saya ditempatkan di salah satu desa Perbatasan Kalimantan Barat yang cukup terisolir. Di sana saya menjumpai anak-anak yang tengah berproses untuk mendaki Gunung Impian yang telah mereka rancang sebelumnya. Terus terang, saya cukup terkejut ketika mendapati fakta bahwa semua anak-anak yang saya jumpai itu mempunyai gunung impian yang identik, dan impian yang ingin mereka gapai itu adalah … Petani. Ya, memang tidak ada yang salah dengan Profesi Petani. Tetapi, yang ingin saya soroti di sini adalah, bahwa anak-anak itu tidak memiliki referensi lain selain Petani yang dapat mereka pergunakan sebagai bahan masukan untuk merancang dan membangun gunung impian mereka. Karena, setiap hari, dari semenjak mereka lahir sampai mereka beranjak remaja, mereka hanya melihat bayangan Gunung impian dari orang tua, tetangga, teman-teman, bahkan kakek nenek mereka yang kesemuanya adalah petani. Bandingkan proyeksi Impian anak-anak perbatasan itu dengan kawan-kawan mereka yang tinggal di Perkotaan, atau paling tidak dengan anak-anak lain yang tinggal di seputaran Jawa yang memiliki akses tinggi terhadap Dunia, tentunya kita akan menemukan perbedaan yang sangat mencolok.
Meskipun demikian, proses perancangan dan pembangunan Gunung Impian ini barulah tahap awal dari keseluruhan bagian kehidupan yang harus dilalui manusia. Namun, bagian awal inilah yang sebenarnya paling berpengaruh terhadap jalan yang harus ditapak kedepannya. Kenapa? Karena nantinya, apa pun yang akan kita persiapkan sebagai bekal pendakian untuk sampai di Puncak Gunung, semuanya akan bergantung dari seberapa menjulangnya gunung impian yang telah kita rancang dan kita bangun itu. Bisa dibayangkan, tidaklah mungkin kita mempersiapkan diri dengan bekal ala kadarnya, sedangkan gunung impian yang kita rancang memiliki tinggi yang sangat menjulang, tanjakan yang sangat terjal dan licin, belukar yang begitu rapat, jurang menganga di kanan dan kiri jalan, serta minimnya sumber air. Akan tetapi, harus dicatat pula, meskipun kita sudah mempersiapkan segala hal dengan sebaik mungkin sebagai bekal pendakian menuju puncak gunung impian, akan selalu ada tantangan dan rintangan yang tidak terduga yang akan muncul dan akan kita hadapi sepanjang perjalanan.
Apabila dilihat dari muasalnya sendiri, rintangan-rintangan yang ada itu pada intinya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama, Rintangan yang muncul dari luar diri, dan yang kedua adalah rintangan yang berasal dari dalam diri manusia. Rintangan jenis pertama bisa disimbolkan lewat gejala-gejala alam seperti hujan deras yang tiba-tiba mengguyur, udara yang terlalu dingin, pacet yang tiba-tiba menyerang, pohon yang tiba-tiba tumbang, jalan yang tiba-tiba longsor, yang kesemuanya bisa menjelma dalam bentuk Kurangnya Biaya, Tak adanya Akses, Lingkungan yang kurang mendukung, tidak adanya Dorongan untuk Maju, dan lain sebagainya. Sedangkan Rintangan jenis kedua bisa menjelma dalam bentuk Rendahnya Semangat Untuk Berkembang, Ketidakmauan Untuk Belajar, Selalu Merasa Benar, Alergi Menerima nasihat/masukan, tidak mau bekerjasama, selalu merasa mampu tanpa mempertimbangkan kondisi, keras kepala, dan termasuk pula rintangan seperti yang dikhawatirkan oleh Hillary lewat ungkapan fenomenalnya itu, yaitu rintangan yang menjelma dalam bentuk Kesombongan Manusia.
Patut diingat pula, masing-masing dari kedua jenis rintangan di atas sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Guyuran Hujan yang begitu deras, Hawa Dingin yang menyengat, dan serangan Pacet yang bertubi-tubi, misalnya, akan mampu memaksa kita untuk berpaling dari puncak gunung impian yang ingin kita gapai itu, kecuali jika kita memiliki ketahanan diri yang kuat. Masalahnya, karena tidak adanya semangat untuk tetap bertahan dalam menghadapi rintangan tersebut, yang berarti pula adalah rintangan dari dalam diri, kita bisa saja gagal menjejakkan kaki di Puncak. Tapi, ketahanan diri ini pun ada ukuran dan batasannya. Kadang, karena adanya desiran-desiran kesombongan yang muncul ketika menghadapi rintangan-rintangan ini, akhirnya kita memaksakan diri untuk terus melanjutkan perjalanan ke puncak. Padahal, kondisi tubuh sudah tidak memungkinkan lagi untuk meneruskan perjalanan. Akibat paling parah; kita bisa terusir dari dunia, seperti terusirnya setan dari surga.
Karena itu, Hillary kemudian mengingatkan kita, bahwa keberhasilan dalam menjejakkan kaki di puncak gunung sebenarnya bukanlah keberhasilan dalam menaklukkan gunung itu sendiri, tapi keberhasilan dalam menaklukkan rintangan-rintangan yang ia simbolkan berasal dari dalam diri manusia. Ketika manusia berhasil menaklukkan rintangan-rintangan itu, puncak gunung impian adalah sebuah keniscayaan untuk digapai. Jadi, mana gunungmu? Wallahu a’lam.
0 Response to "Hillary dan Gunung"
Post a Comment