Untuk Sebuah Keberanian
Setidaknya, ada dua alasan mendasar kenapa catatan ini harus ditulis. Pertama, bahwa Sebuah Ucapan, kadang tidak cukup untuk mewakili dan mengekspresikan sebuah rasa. Dan yang Kedua, bahwa Verba Volant, Scripta Manent. Ucapan akan Sirna Seiring berputarnya waktu, sedangkan Tulisan akan abadi sepanjang masa.
Saat itu, tepatnya pada hari Kamis Malam (10/04), di atas Bis jurusan Depok – Bandung, aku hanya bisa terduduk lesu. Akumulasi rasa capek akibat kerjaan selama empat hari penuh membuat mataku terasa begitu berat. Mungkin, sedikit lagi aku akan jatuh terlelap. Padahal, sudah kusiapkan sebuah Novel sebagai teman perjalanan malam itu. Hingga akhirnya, Novel itu tetap tersimpan rapi di dalam tas, diam tak terbaca. Sampai di sebuah titik, di mana kesadaranku berada di ambang ketiadaan, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh getar Ponsel yang ada di kantong depan Celana. Aku terkesiap, buru-buru aku keluarkan ponsel itu, terpampang nama Oktiviana Purwandani pada kedip layarnya. “Halo Dan”, kataku, dengan suara agak serak. “Masdan, ayo ke Pangrango. Sabtu ini!” Kata Orang di seberang sana dengan tidak sabar. Tanpa banyak pertimbangan, langsung aku jawab, “Ayo!”
Mendengar ajakan itu, semangatku kembali menyala. Kerjaan di Bandung yang sudah menunggu untuk diselesaikan esok harinya seolah tidak terasa sebagai Beban lagi, karena bayangan Pangrango dan Mandalawangi sudah terpampang secara nyata di depan mata. Memang, sudah cukup lama sebenarnya kami berdua merencanakan untuk melakukan pendakian ke Gunung Pangrango. Tapi, karena sulitnya mengurus izin pendakian untuk tanggal yang telah kami sepakati, rencana itu pun terancam tidak bisa direalisasikan. “Ah, Gagal ke Pangrango Lagi.” Kata Dani Waktu itu.
Tak mau melihat raut kekecewaan di wajah Dani karena kegagalan mendaki Pangrango untuk kesekian kalinya, aku usulkan untuk melakukan pendakian secara “TekTok” alias Naik Turun Gunung dalam Sehari, tanpa menginap di Puncak, dan tentunya juga tanpa izin. Memang agak berisiko. Tapi, Dani yang sudah Gelap mata, akhirnya menyutujui usulan itu. Syaratnya, kata dia, harus ada teman lain, supaya dia bisa mendapatkan izin dari Ibunya. Akan tetapi, sampai tenggat lima hari sebelum waktu pendakian yang sudah kami sepakati, Dani belum juga mendapatkan teman pendakian seperti yang ia persyaratkan. Ditambah lagi, tugas mendadak dari kantor yang aku terima untuk melakukan perjalanan Dinas ke Kota Bandung mulai hari Kamis sampai dengan hari Sabtu, seolah membuat Puncak Pangrango dan Mandalawangi terlihat semakin menjauh, menjauh, dan menjauh dari gapaian.
Sampai pada hari kamis Malam itu, ajakan ajaib yang tiba-tiba keluar dari mulut Dani kembali mendekatkan Puncak Pangrango dan Lembah Kasih Mandalawangi yang sebelumnya sempat menjauh itu. Memang, Idza shadaqa al ‘Azmu Aadhaha al Sabilu, kalau ada Niatan yang baik, Jalan untuk mewujudkan niatan itu juga akan terbuka lebar. Dan benar juga, pada detik-detik akhir itulah, tak dinyana, akhirnya jalan pendakian ke Puncak Pangrango pun terbuka, di mana Dani pada akhirnya mendapatkan Teman untuk menemaninya mendaki. Rina Setiana (FIK UI 2007), teman satu kos Dani yang pada hari kamis malam itu baru pulang ke tempat Kos dan mendengar rencana serta ajakan pendakian ke Pangrango secara TekTok, langsung tertarik untuk ikut. Agak jauh di Karawang sana, Zunny (FIK UI 2007), alumnus Pencerah Nusantara yang baru datang dari Sikka Nusa Tenggara Timur, juga mengiyakan ajakan Dani itu. Bahkan, dia juga menawarkan kepada salah satu temannya, Inung (FKM UI 2009), yang tengah menjalankan Program Pencerah Nusantara di titik Karawang untuk turut serta. Inung mengangguk, dan akhirnya, Puncak Pangrangrango pun terlihat semakin jelas dan nyata di depan mata.
Jum’at sore (11/04) esok harinya, Kerjaanku di bandung akhirnya rampung. Izin dari atasan untuk pulang lebih awal sudah aku dapatkan pula. Awalnya, ada niatan untuk langsung berangkat ke Cibodas dari Leuwipanjang. Tapi, setelah mendengar celotehan Dani sewaktu aku hubungi untuk konfirmasi mengenai moda transportasi yang akan kami pergunakan, akhirnya aku pertimbangkan ulang rencanaku itu. Dan agaknya, memang lebih menyenangkan kalau berangkat ke Cibodas bersama Dani, Rina, Zunny dan Inung. Karena itu, aku putuskan untuk menumpang Bis Jurusan Leuwipanjang ke arah Depok. Malam yang cukup pekat ditambah dengan monotonnya pemandangan sepanjang Jalan Tol Cipularang membuat rasa Bosan yang sedari awal sudah menyergap bertambah menjadi semakin liar. Untungnya, rasa kantuk mampu menyelamatkanku dari kebosanan akut itu. Aku pun terlelap, dan tanpa sadar, kota Depok beserta Dani, Rina, Zunny dan Inung tiba-tiba saja sudah ada di depan mata. Setelah itu, Dengan menumpang Angkutan Umum, kami berangkat menuju Cibodas.
Singkat Kata, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Depok menuju Cianjur, tentunya dengan transit terlebih dahulu di Kampung Rambutan, akhirnya Kami sampai di Cibodas. Rencana awalnya, kami mau beristirahat sejenak di Base Camp Green Ranger, sekedar untuk menabung tenaga agar lebih kuat berjalan. Tetapi, pada akhirnya kami lebih memilih untuk berbincang tentang banyak hal sampai Adzan Shubuh berkumandang. Selesai Menunaikan Sembahyang Shubuh dan Mengisi Perut dengan menu Bubur Ayam ala kadarnya, kami memulai perjalanan menuju Puncak Pangrango. Baru beberapa langkah menapakkan kaki, kami sudah dibuat takjub bukan kepalang oleh semburat Pelangi dengan lengkung sempurna yang terlihat di kejauhan. Saking Indahnya Pelangi Pagi itu, seolah-olah ia terlihat bagai jembatan Bidadari yang menghubungkan istana dewa-dewi yang ada di puncak Gunung Pangrango dan Gunung Geger Bentang yang ada di Sampingnya. Tak mau melewatkan keindahan yang ada, kami pun berlomba mengabadikan pemandangan luar biasa yang tengah kami saksikan itu. “Klik, Klik, Klik”, suara Shutter Kamera kami terdengar saling beradu, silih berganti. Setelah merasa Puas, Perjalanan kami pun Berlanjut.
Sepanjang jalan menuju puncak Pangrango, angin gunung Berhembus cukup kencang. Ranting-ranting pohon di atas kami terlihat bergelayutan dan saling sikut, sehingga, daun-daun pun banyak yang jatuh berguguran. Sebenarnya, kami agak khawatir Kalau-kalau hembusan angin itu adalah pertanda akan turunnya hujan. Kenapa kami khawatir? Karena guyuran hujan itu bisa jadi akan menghambat perjalanan kami menuju puncak Pangrango. Selain karena jalanan bisa menjadi sangat licin, kondisi badan kami pun bisa Turun dengan Drastis pula. Akan tetapi, sewaktu kami Sampai di Pos terakhir sebelum Puncak, salah seorang Penjual Kopi yang membangun warung tenda di Pos tersebut berhasil memupus Kekhawatiran kami dengan penjelasan pendeknya. Menurutnya, Deru Angin yang cukup kencang malah akan menyapu rombongan awan pekat yang membawa bulir Hujan di atas sana. Sehingga, kemungkinan turunnya Hujan menjadi sangat Kecil. Awalnya kami kurang percaya, tapi beberapa waktu kemudian, kondisi cuaca pada saat itu ternyata lebih memilih untuk membenarkan ucapan Si bapak Penjual Kopi daripada menuruti kekhawatiran kami.
Dari kandang Badak menuju Puncak Pangrango, Jalanan berubah menjadi semakin terjal. Stamina kami yang sudah terkuras dan semakin menurun cukup menghambat perjalanan kami waktu itu. Bahkan, Inung sudah menunjukkan tanda-tanda untuk menyerah. Sampai di sebuah tanjakan yang sangat terjal, tiba-tiba Inung Terduduk. Wajahnya terlihat begitu Pucat. Matanya membuka dan menutup dengan tidak beraturan. Seolah ia menahan rasa sakit atau mual yang begitu hebat. Untungnya, Rina, Zunny dan Dani tanggap akan kondisi itu, sehingga mereka mulai merawat inung dengan memijit punggung dan tengkuknya dengan bantuan Minyak kayu Putih yang kebetulan mereka bawa di dalam tas. Tak lupa, Sambil melakukan pijitan-pijitan di sekujur tubuh Inung, mereka juga meyakinkan dan membesarkan hati Inung untuk meneruskan Perjalanan sampai Puncak. Melihat kesigapan dan cara mereka merawat serta memotivasi Inung, aku hanya bisa tersenyum dan berkata dalam hati, “Beruntung sekali laki-laki yang mendapatkan isteri seorang Perawat atau Psikolog. Ah, semoga aku termasuk salah satu diantara laki-laki yang beruntung itu.”
Setelah Inung merasa agak baikan, Kami memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan. Dengan Langkah pelan, Dani membimbing kaki-kaki Inung untuk melintasi tanjakan yang ternyata adalah tanjakan terakhir sebelum sampai di puncak. Agak lama kami berjalan mendaki tanjakan itu, sampai akhirnya, tepat pada pukul 16.30 WIB, kami berempat berhasil menjejakkan kaki di Puncak Pangrango. Di atas sana, kami disambut oleh rasa Dingin dan sepi yang begitu menusuk. Hanya perasaan bahagia karena keberhasilan mencapai puncak lah yang mampu meredam Rasa Dingin dan Sepi itu. Mungkin, perasaan seperti itulah yang beberapa dekade lalu juga sempat dirasakan oleh Hok Gie, sampai akhirnya kesan mendalam itu ia tumpahkan dalam sebait puisi yang kemudian ia beri judul, Mandalawangi.
“Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu Aku datang kembali. Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu.”
Meskipun rasa dingin terasa begitu menusuk sampai sumsung tulang, ternyata Tuhan punya skenario yang sangat indah untuk menebus rasa dingin yang cukup menyiksa itu. Ketika kami beristirahat di Puncak sambil mengabadikan suasana yang ada melalui bidikan lensa kamera, Kabut tebal yang sudah melingkupi Puncak Pangrango sejak Siang akhirnya mulai memudar dan pelan-pelan juga mulai menghilang. Sehingga, di Kejauhan sana, Kawah Gunung Gede akhirnya terlihat dengan sangat Jelas. Ada rona bahagia dalam wajah Dani, Rina, Zunny dan Inung ketika menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan mereka itu.
Setelah merasa puas melihat keindahan yang begitu menakjubkan di kejauhan sana, kami pun berjalan turun menuju Mandalawangi. Sampai di lembah yang tidak begitu luas itu, Kabut yang tadinya memudar kembali menebal. Suhu udara tiba-tiba turun dengan drastis, sehingga pakaian yang kami kenakan tidak mampu lagi menahan rasa dingin yang terasa berlipat-lipat itu. Tak mau mengambil risiko, akhirnya kami menyerah. Setelah mengambil beberapa foto dengan Bunga Abadi, kami memutuskan untuk naik kembali ke Puncak Pangrango lalu Turun Menuju Pintu Pendakian Utama yang ada di Cibodas.
Dengan langkah tertatih karena rasa capek dan lelah, ditambah pula dengan medan terjal dan gelap yang harus kami tapak tanpa adanya penerangan yang memadai, membuat perjalanan turun memakan waktu yang lebih lama. Apalagi, di tengah perjalanan itu, tiba-tiba Rina merasakan sakit di seputaran lambung karena penyakit Maagh nya yang kambuh. Sehingga, mau tidak mau, kami harus berhenti untuk mengistirahatkan diri. Entah, sudah berapa lama kami berhenti pada saat itu, yang pasti beberapa diantara kami sampai jatuh terlelap. Seakan mendapat suntikan energi baru, tiba-tiba saja Rina berdiri dan mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan turun itu, lawan yang paling sulit untuk dikalahkan adalah rasa kantuk yang bergelayut di kelopak mata kami. Tapi, Langkah demi langkah tetap harus kami ayunkan, meskipun pelan. Rasa kantuk pun juga harus kami lawan, walaupun beberapa kali mata kami sempat kecolongan sampai terpejam ketika berjalan, hingga ….. tepat pada pukul 03.30 WIB pagi, kami pun sampai di Pos Pendakian Cibodas. Karena rasa lelah yang sangat, Zunny dan Inung langsung merebahkan diri di tengah Jalan.
***
Diilhami oleh pengalamannya ketika mendaki Gunung Pangrango, Hok Gie pernah menulis di senjakala hidupnya, bahwa:
“hidup adalah soal keberanian,Menghadapi yang tanda Tanya. Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah, dan hadapilah.”
Barangkali Hok Gie benar. Hidup adalah titian waktu dari masa lalu menuju masa depan yang penuh misteri dan tanda tanya. karna itu, perlu keberanian yang besar untuk menghadapinya. Menghadapi ketidakpastian ataupun ketidakmungkinan yang membayang di depan. Dan diantara sekian banyak tanda tanya tanda tanya yang melingkupi kehidupan manusia itu, Pendakian ke Puncak Gunung adalah salah satu diantaranya. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi, tak ada pula yang tahu apa yang akan di dapat di atas nanti. Ada sekian tanda Tanya yang harus dihadapi dalam setiap tapak dan dalam setiap langkah menuju ke puncak untuk mendapatkan jawaban dari dua pertanyaan tadi. Dani, Zunny, Rina dan Inung, adalah salah satu dari sekian orang-orang yang berani menghadapi dan mencari jawaban yang ada dibalik tanda Tanya besar yang melekat dalam proses pendakian gunung itu. Entah, jawaban apapun yang pada akhirnya mereka dapatkan dari sekian tanda Tanya yang mereka hadapi ketika mendaki Pangrango, yang pasti keberanian mereka patut untuk diapresiasi. Untuk Dani, Zuni, Rina dan Inung, Mungkin Ungkapan semacam “Kalian Hebat” saja masih belum bisa mewakili gambaran obyektif dari diri kalian itu. Tapi, tetap harus diungkapkan di sini, bahwa kalian memang Hebat. Wallahu a’lam.
0 Response to "Untuk Sebuah Keberanian"
Post a Comment