Pantai Ora, Surga dan Hawa
Saya tidak
tahu Surga itu bagaimana dan seperti apa. Yang jelas, dari berbagai macam
literatur dan pendapat orang yang pernah saya baca dan saya dengar, semua sepakat dengan
anggapan bahwa Surga merupakan gambaran puncak dari segala macam Keindahan yang
selalu diidam-idamkan dan diimpikan Manusia.
Mereka yang kesehariannya hanya
mampu melihat Lautan Pasir dari ujung kaki sampai ujung Cakrawala, hanya bisa
merasakan Teriknya Matahari yang menyengat Batok Kepala, hanya dapat
menyaksikan pohon-pohon dengan Dedaunan yang sudah layu beserta Rumput-Rumput
yang sudah Kering Kerontang sampai berwarna kuning kecoklatan, pasti
mendambakan gemericik air yang dingin dan menyegarkan; mengidamkan sebuah
telaga yang bening; dan memimpikan adanya sungai-sungai yang mengalir diantara
rimbunan pepohonan berdaun Hijau yang bisa mereka gunakan untuk berteduh di tengah
cuaca terik yang membakar. Karena mafhum akan hal ini, pada akhirnya Tuhan pun
menjanjikan pahala surga dengan gambaran serba indah seperti itu untuk manusia-manusia Padang Pasir di belahan Asia Barat sana yang
mau tunduk mengikuti perintah -Nya.
Mereka yang
tinggal di Kutub, di lingkungan yang serba dingin, barangkali hanya akan
tertawa ketika mendapat iming-iming Surga dengan model Seperti itu. Karena bagi
mereka, Surga adalah kehangatan. Surga adalah Api. Surga adalah sinar Mentari.
Surga adalah Daging, Roti dan Tuak yang mampu mengenyangkan dan menghangatkan
tubuh. Orang mau setuju atau tidak, tetap saja itulah Surga menurut mereka.
Tempat Idaman di mana Mereka bisa mendapatkan semua hal yang mereka impikan dan
mereka idam-idamkan.
Tak jauh beda
dengan manusia padang pasir atau manusia kutub itu, Saya pun juga memiliki
sebuah impian. Dari semenjak saya kecil, saya selalu mengidamkan Pantai.
Mungkin, karena saya lahir dan besar di Gunung yang serba Dingin itu, ketika
mendengar cerita tentang keindahan Pantai beserta hangatnya sepoi angin yang
berhembus di sana, tentang lezatnya air kelapa muda yang bisa diminum sambil
leyeh-leyeh di atas pasirnya yang lembut, tentang gadis-gadis cantik dengan
bikini warna-warni yang payudaranya menyembul sampai mentul-mentul, saya
langsung terpukau. Bagi saya saat itu, Pantai tak ubahnya seperti Surga,
seperti hal nya Shangri-La bagi orang Himalaya. Dan seiring berjalannya waktu,
keterpukauan saya itu berubah menjadi semacam Obsesi. Obsesi terhadap Surga
Dunia.
Saya masih
ingat, saat itu saya harus menunggu cukup lama sebelum akhirnya saya bisa
menginjakkan kaki di atas Pasir yang sudah saya idamkan dari jauh-jauh hari
itu. Pantai Popoh Tulungagung, di sanalah untuk kali pertama saya diajak
melihat Surga versi saya. Namun, apa Lacur, sewaktu saya sampai di sana, dan
sesaat setelah itu, ketika saya mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru
Pantai yang tidak terlalu luas yang membentang sejauh mata memandang, Saya
terhenyak. Surga benar-benar telah mengecewakan saya. Ya, Pantai yang saya
lihat saat itu ternyata jauh panggang dari api, sangat berbeda dengan imaji
Surga yang ada di kepala saya. Tanpa ba bi bu, saat itu juga, saya langsung
mengumpat dalam hati. “Brengsek!”
Tak mau
merasakan kekecewaan yang sama, maka setiap kali saya pergi ke Pantai untuk
berburu Surga, saya mencoba untuk menekan harapan saya akan Keindahan Surga
sampai ke titik yang paling dasar, titik Nol. Sebab, kalaupun harapan itu harus
jatuh dan terguling karena tidak bersua dengan realitas yang ada, paling tidak
rasa sakit dan rasa kecewa yang saya rasakan tidak akan terlampau besar. Namun
kenyataannya, hal itu sangat sulit dilakukan. Apa sebab? Antusiasme saya
terhadap Surga terlalu meluap-luap dan tidak bisa dibendung ataupun dikendalikan.
Akibatnya, kekecewaan itu selalu berulang, berulang, dan berulang secara Terus
menerus. Meskipun demikian, Saya tidak Kapok, dan memang tidak akan pernah
Kapok. Karena saya yakin, bahwa suatu saat, Surga itu Pasti akan saya temukan.
Entah kapan. “Sampai saat itu tiba, Biarlah saya menunggu, sambil terus
berjalan.” Batin saya bergumam.
Menunggu? Ya, menunggu. Saya percaya, banyak orang yang memiliki pengalaman pahit dengan istilah itu. Tidak terkecuali dengan saya. Apalagi, jika
dibelakangnya ditambah dengan embel-embel nama seorang Perempuan, rasa pahitnya pun bakal
semakin bertambah, beranak pinak dan menjadi-jadi. Tapi, Apa salahnya kalau
harus menunggu? Bukankah pada dasarnya setiap orang adalah seorang Penunggu?
Bukankah manusia, seperti kata Sapardi, pada hakikatnya tengah menunggu? menunggu sebuah
Jemputan. Secara lebih lengkap, Sapardi (1967) berujar:
Pasti datangkah semua yang ditunggu detik-detik berjajar pada mistar yang panjang (barangkali tanpa salam terlebih dahulu) Januari mengeras di tembok itu juga lalu desember musim pun masak sebelum menyala cakrawala tiba-tiba : kita bergegas pada jemputan itu.
Bagi Sapardi,
menunggu adalah Sebuah Rutinitas. Rutinitas untuk menunggu, menunggu dan menunggu sebuah Jemputan, sambil pada saat yang bersamaan, harus mempersiapkan diri pula untuk menyambut apa yang tengah dinantinya itu. Jemputan Agung. Jemputan yang bisa datang kapan saja, dengan
tiba-tiba. Bahkan, tanpa uluk salam terlebih dahulu.
Dan, Sapardi
Benar, ketika saya tengah menunggu, menunggu, dan menunggu sambil terus
melangkahkan kaki untuk mengejar Surga yang sedari dulu selalu saya impikan
itu, tiba-tiba, jemputan menuju Surga itu pun datang juga. Saat itu, salah seorang
sahabat saya, Ami, berkata dengan begitu antusias, “Wil, Ayo ke Ora!”.
“Ora?” Dahi
saya agak berkerut.
“Ya, Pantai
Ora. Maluku Tengah. Ayo!”, Katanya Meyakinkan.
Beberapa saat
kemudian, kesepakatan pun segera diambil. Bertiga; Saya, Ami dan Puput memutuskan
untuk berangkat ke sana. Tiket Pesawat menuju Ambon juga langsung dipesan,
bahkan langsung di Issued keesokan harinya. Kami pun segera berkemas. Tak lama
setelah itu, kami berangkat, tentunya dengan diiringi sebuah harapan untuk
melihat Surga di tengah Kepulauan Maluku yang terkenal Indah itu. Ketika
memasuki Pintu Pesawat, saya bergumam, “Kali ini saya tidak mau dikecewakan
lagi.”
Pintu Kabin
ditutup, lalu, Pesawat kami pun berangkat.
Empat Belas
Jam lebih perjalanan yang harus kami tempuh untuk sampai ke Pantai Ora. Semua
Moda Transportasi Juga harus kami coba, mulai dari Pesawat, Mobil, Feri, sampai
kapal Ketinting Kecil yang biasa digunakan Nelayan untuk berburu Ikan. Benar
kata orang, perjalanan menuju Surga memang tidak mudah. Badan Capek? Pasti.
Tapi, ketika akhirnya kami sampai di Pantai Ora, tumpukan rasa capek yang kami
rasakan selama lebih dari seharian itu seakan langsung hancur lebur dihantam
oleh Ketakjuban..
Masya Allah.
Seperti inikah
Surga? Apakah lantai-lantai surga juga terbentuk dari pasir pantai dengan
bulir-bulir halus seperti yang tengah saya injak? Apakah taman-taman Surga juga
dikelilingi oleh tebing-tebing menakjubkan seperti yang tengah berdiri tegak
memunggungi saya? Apakah keheningan Surga juga mampu memberikan Ketenangan
Seperti yang sedang saya rasakan saat ini? Apakah sudut-sudut Surga juga
dihiasi oleh terumbu karang berwarna-warni yang begitu indah seperti yang ada
di depan mata saya? Lalu, Apakah, Apakah Air yang mengisi telaga-telaga Surga
itu juga sebening Air Laut yang selalu rajin menyapu pasir pantai seperti yang
tengah menempel di kaki saya sekarang? Mungkin Iya. Tapi, Entahlah. Untuk Saat
ini, itu Tak Penting.
Dua hari di Pantai Ora, tidak bisa dan tidak
akan pernah bisa dibilang cukup. Tapi, waktu terus berputar, dan rutinitas
Hidup pun harus terus berlanjut. Ketika kaki saya melangkah pergi dari Pantai
Ora, saat itu juga seakan-akan saya terbayang dengan gemuruh Perasaan Adam
ketika harus ditendang keluar dari Surga. Dan, sama seperti nenek moyang manusia
itu, meskipun harus angkat kaki dari keabadian Surga dan harus meninggalkan
Zona Nyaman untuk turun ke Dunia yang penuh dengan ketidakpastian itu, kepala
harus tetap tegak, semangat harus tetap menyala, karena masih ada satu misi
yang harus dituntaskan, yaitu Mencari dan Menemukan belahan Jiwa, Hawa.
Yah, anggap saja ini Pertanda, anggap saja Surga Pantai Ora ini sebagai pengingat, bahwa saat ini, setelah saya keluar dari sana, saya benar-benar diharuskan untuk segera menemukan Sang Hawa. Seperti yang dilakukan Adam setelah keluar dari Surga, beberapa Ribu Tahun yang lalu. Yang pasti, setelah sekian lama berjalan, pada akhirnya Adam menemukan Hawa nya. Sedangkan Saya? Oh Tuhan, Hawa ku, Kau di mana? Wallahu a’lam
Yah, anggap saja ini Pertanda, anggap saja Surga Pantai Ora ini sebagai pengingat, bahwa saat ini, setelah saya keluar dari sana, saya benar-benar diharuskan untuk segera menemukan Sang Hawa. Seperti yang dilakukan Adam setelah keluar dari Surga, beberapa Ribu Tahun yang lalu. Yang pasti, setelah sekian lama berjalan, pada akhirnya Adam menemukan Hawa nya. Sedangkan Saya? Oh Tuhan, Hawa ku, Kau di mana? Wallahu a’lam
0 Response to "Pantai Ora, Surga dan Hawa"
Post a Comment