Menuju Mahameru
Waktu itu saya sudah seperempat jalan menuju Mahameru, berdua bersama seorang kawan dari Pekalongan. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, Kami memutuskan untuk istirahat barang sejenak, sekadar untuk melepas lelah. Sambil berbincang tentang berbagai macam hal, kami arahkan pandangan kami ke bawah, ke arah jejeran kerlip lampu senter para pendaki yang tengah berjuang menggapai puncak. Saat menikmati keindahan kerlip cahaya lampu itu, tiba-tiba mata saya menangkap satu sosok bayangan yang bergerak begitu cepat
“Coba lihat kebawah mas. Gesit benar langkah orang itu”, Kata saya sambil menyorotkan lampu senter ke arah bayangan yang tengah bergerak itu
“Perempuan, Mas. Bule”, Kawan saya merespon pendek
Tidak butuh waktu lama sampai bule itu menyalip kami. Perawakannya sedang, rambutnya pirang sebahu dan diikat kebelakang. Dengan berbekal sepasang tongkat tanpa senter, Bule itu terus melangkah ke atas
“Mas, saya duluan ya. Mau nemenin Bule itu. Kasian, sepertinya dia nggak bawa senter sama Air”.
“Hati-hati mas. Sampai ketemu di Puncak”.
Bergegas saya ambil Tongkat yang tergeletak di samping kaki saya kemudian lanjut melangkah. Ritme langkah agak saya percepat demi mengejar Bule Perempuan itu. Tapi, baru beberapa menit berjalan, nafas saya sudah tersengal. Untungnya, Bule itu berhenti agak lama, sehingga saya berhasil mengejar dan akhirnya bisa sampai di tempat di mana dia duduk untuk beristirahat.
Kami langsung berkenalan. “Laura”, katanya sambil menjabat tangan saya. Laura berasal dari Prancis. Sudah sejak lama Dia memiliki ketertarikan dengan Gunung berapi di Indonesia. Ketertarikannya terhadap Gunung api itulah yang mampu mengantarkan Laura jauh-jauh dari Prancis sampai ke titik di mana dia duduk saat ini. Sebenarnya Laura tidak sendirian. Menurut pengakuannya, ada dua kawannya yang lain yang menemaninya mendaki Mahameru. Tetapi, kedua kawannya itu masih tertinggal jauh di bawah.
Setelah berbincang agak lama, kami memutuskan untuk melanjutkan Perjalanan. Ritme Langkah kaki Laura benar-benar cepat. Saya sampai kewalahan mengimbangi gerak langkahnya itu. Dulu, sewaktu saya mendaki Gunung Rinjani, tepatnya ketika sampai di Tanjakan Penyesalan, saya juga sempat berpapasan dengan sepasang Pendaki Bule. Ritme Langkah kaki kedua bule itu juga tergolong cepat. Ditambah lagi dengan imbangan nafasnya yang panjang, maka tak heran kalau kedua bule itu seperti tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti untuk melewati Tanjakan yang membuat saya Begitu kepayahan itu. Mungkin, semua Bule yang menggiati petualangan di alam bebas benar-benar mempersiapkan fisiknya dengan baik sebelum berangkat berpetualang. Sehingga, ketika sudah berada di Gunung, mereka sudah siap jiwa raga, lahir dan batin
Saya merasa tertampar. Seringkali saya bertindak begitu ceroboh setiap kali naik gunung. Seperti pendakian kali ini. Tanpa persiapan yang memadai, Saya tetap nekat naik gunung karna alasan Kangen. Sendirian pula. “Nggak lagi deh.” Batin saya waktu itu
“Hei! Are you Okay, Harry?” Teriakan Laura menyadarkan lamunan saya. Oh ya, setiap kali berkenalan dengan Bule, di manapun itu, saya selalu menggunakan nama belakang saya, Harry, dari kata Masyhari. Tujuannya sederhana, agar teman-teman baru saya itu lebih mudah memanggil nama saya. Karna dibanding Masdan, Harry lebih akrab di lidah mereka, sehingga lebih mudah untuk dilafalkan.
Mendengar teriakan itu, semangat saya untuk melangkahkan kaki kembali bergolak. Sepertinya Laura tau saya kecapekan, sehingga dia memutuskan untuk menunggu saya sambil merebahkan badannya di atas Pasir Mahameru yang labil itu. Setelah berada kembali di samping Laura, Bergegas saya membuka Tas Kerir untuk mengeluarkan air minum. Karna tahu Laura tidak membawa bekal air, saya menawarinya minum. “Did you take this From Ranu Kumbolo?” Terlihat raut keraguan dalam wajah Laura. “Mineral Water, Mbak”, kata saya Meyakinkan. “I dont want to get sick because of that Water, Harry.”, sergahnya sambil tertawa. “Andai Laura mau mencicipi Air Ranu Kumbolo barang satu tetes saja, pasti ia langsung Ketagihan.” Pikir saya waktu itu. Sayangnya, Laura sudah resisten terlebih dahulu.
Setelah merasa cukup mengistirahatkan badan, Laura mengajak saya Melanjutkan perjalanan. Kali ini Laura terlihat lebih pengertian. Setiap kali saya tertinggal beberapa langkah, Ia langsung berhenti sambil memberikan semangat. “Come on Harry!”, ujarnya. Dorongan semangat seperti ini penting. Apalagi perjalanan ke Mahameru memang tergolong berat. Meskipun demikian, sepanjang jalur menuju puncak, rasa lelah kita akan terobati oleh suguhan pemandangan dari Bintang Gemintang yang begitu Indah. Untuk menyaksikan salah satu keajaiban Mahameru itu, kita hanya perlu rebahan dan mengedarkan pandangan kita ke arah langit. Bahkan, kalau Dewi Fortuna berpihak pada kita, di tengah jutaan Bintang yang tersebar di Langit itu, kadangkala ada satu atau dua Bintang yang Jatuh. Saya sendiri, semenjak dari Ranu Kumbolo sampai di Punggungan menuju Mahameru kala itu saja, sempat menghitung ada sekitar 6 bintang Jatuh yang tertangkap mata. Indah sekali.
Semakin ke atas, tanjakan pasirnya terasa semakin terjal. Meskipun demikian, di depan saya, Laura masih kuat berjalan. Langkah demi langkah. Saya sempat tertegun beberapa kali melihat Laura. Ada yang mengganjal di benak saya. Entah apa. Sampai akhirnya saya sadar, Laura hanya mengenakan selembar Kaos lengan Panjang. Tanpa Jaket. Jaket merahnya hanya ia lilitkan di Pinggul. Padahal, udara saat itu benar-benar terasa sangat dingin sampai menusuk Tulang. Saya yang mengenakan dua Kaos, dua Jaket, dan tiga celana rangkap saja masih merasa kedinginan. Apalagi yang hanya mengenakan satu kaos?
“It’s Freezing”, kata saya sambil menahan hawa dingin yang begitu menyengat. “You’re wearing so Little, aren’t you Feeling Cold, Laura?”. “No. Not Yet”, jawabnya datar. Saya hanya melongo.
Saya sering bilang ke Rina, saya kuat menahan capek. Tapi kalau sudah menghadapi Hawa Dingin dan Rasa Ngantuk, saya lebih sering KO. Inilah salah satu alasan kenapa saya tidak memasukkan Puncak Cartenz dalam List rencana pendakian 7 Summits Indonesia saya. Saya lebih memilih untuk menggantinya dengan Puncak Leuser. Selain karna Hutannya yang masih Asri, yang pasti Gunung Leuser tidak Bersalju.
Sampai suatu ketika,
“Do you see the Rock above us, Laura?” Kata saya Setelah hampir tiga jam berjalan dari batas Vegetasi.
“Yeah, whats up?”.
“It’s there, behind that rock. Top of Java”. Jawab saya sekenanya.
“Seriously? How long till we get there?”, tanyanya dengan antusias.
“15 minutes, maybe. Come on!”
Saking antusiasnya karna hampir mencapai puncak, Langkah kaki Laura semakin melebar. Saya yang sudah terlalu lelah akhirnya agak tercecer di Belakang. Tepat sebelum puncak, Laura tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Hurry up Harry!”, teriaknya menyemangati.
Saya memutuskan untuk berjalan pelan-pelan. Toh, puncak sudah di depan mata. Sambil menunggu kedatangan saya, mbak laura mulai mengenakan Sarung Tangan dan Jaket merahnya. Sepertinya ia sudah menyerah menghadapi terpaan hawa dingin beserta hembusan angin Mahameru yang semakin menjadi
Sekitar lima menit kemudian, saya sudah berada di samping Laura. Karna puncak tinggal beberapa langkah lagi, kami langsung melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya, tepat pada pukul 04.00 WIB pagi, kami berdua akhirnya berhasil menjejakkan kaki di titik Tertinggi Pulau Jawa, Puncak Abadi Para Dewa, Titik 3.676 Mdpl Mahameru.
“Congratulation Laura, you made it!”, ucap saya sambil menjabat tangan Laura.
Agak lama Laura menggenggam tangan saya. Saat itu, saya bahkan sempat berfikir bahwa Laura akan memberikan pelukan persahabatan kepada saya. Tapi syukur alhamdulillah, apa yang saya pikirkan itu tidak menjadi kenyataan.
Di tengah kegelapan malam, ketika Laura masih menggenggam tangan saya itu, samar-samar saya bisa melihat senyum kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Senyum yang begitu ikhlas dan lepas. Senyum penghargaan terhadap pencapaian yang telah ia buat sendiri. Semeru merupakan Gunung Pertama yang ia jejak di Tanah Jawa. Sehingga, Keberhasilannya menjadi Pendaki Pertama yang sampai di Puncak Mahameru pada hari itu merupakan capaian besar yang patut diapresiasi. Setelah semeru, Laura dan Kedua kawannya akan meneruskan perjalan ke Gunung Ijen dan Gunung Rinjani. Dua gunung yang mempunyai tingkat kesulitan dibawah semeru
Pagi itu, Saat kami berada di Puncak, angin berhembus begitu kencang. Kami berdua hanya mampu bertahan selama beberapa menit saja. Setelah itu kami memutuskan untuk turun kembali dan berlindung di tengah cerukan jalan yang berada sekitar 10 meter sebelum Puncak, sambil menunggu Terbitnya Matahari Pagi. Cerukan yang kami gunakan untuk berlindung kala itu cukup mampu meredam agresifitas dari hembusan angin pagi yang begitu dingin. Tapi, karna kami hanya duduk diam tanpa melakukan aktifitas sama sekali, lama kelamaan kami pun merasa kedinginan. Bahkan, Laura yang sebelumnya hanya mengenakan kaos lengan Panjang tanpa Jaket atau Sweater, kali ini sudah membelit tubuhnya dengan Emergency Blanket yang ia bawa di sakunya.
Saya sendiri sangat terbantu dengan Sarung Tangan Salomon, Kupluk TNI, beserta Masker yang saya kenakan semenjak dari Kalimati. Sehingga, badan saya tetap terasa hangat. Tetapi, karna saya hanya mengenakan Sendal dan kebetulan kaos Kaki saya juga sudah berlubang akibat gesekan dengan kerikil mahameru, jemari kaki saya seolah terasa membeku. Karna sudah tidak tahan dengan rasa dingin itu, saya mulai mengeluarkan Matras Aluminium yang ada di dalam tas Kerir, kemudian langsung saya belitkan di telapak kaki saya. Pelan-pelan, akhirnya rasa dingin yang sedari awal terasa di kaki akhirnya berkurang. “Ah, lumayan”, batin saya. Setelah kaki saya terasa nyaman kembali, segera saya keluarkan Roti Sobek yang saya bawa di dalam kerir. “Tinggal 2 potong. Pas sekali”, ucap saya dalam hati. Satu potong langsung saya makan untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan, satu potong sisanya saya berikan kepada Laura.
Lima belas menit kemudian, kedua teman seperjalanan Laura akhirnya sampai di cerukan tempat kami berlindung. Tepat setelah mereka merebahkan diri, Laura langsung mengenalkan keduanya kepada saya. Yang satu bernama Chris, satunya lagi bernama Elena. Chris mempunyai perawakan yang tinggi semampai dengan badan yang cukup kekar. Sedangkan Elena mempunyai perawakan yang mirip dengan Laura. Meskipun melalui perkenalan yang cukup singkat, kami berempat langsung merasa akrab. Inilah salah satu keajaiban Gunung, dinginnya udara dan terjalnya medan ternyata mampu mengikat dua orang atau lebih yang awalnya merasa asing menjadi keluarga.
Kami berempat kemudian bertukar cerita mengenai pengalaman pendakian yang pernah kami lakukan. Beberapa kali saya sempat terbengong-bengong sendiri ketika Chris, Laura dan Elena berbicara dengan bahasa Moyangnya. Bahkan kalau tidak salah ingat, saat itu saya sempat tertidur selama beberapa menit sebelum akhirnya terbangun akibat pertanyaan dari Chris.
“What time is the Sunrise, Harry?”
“About 5.00 AM. Oh wait, what time is it?”, buru-buru saya mengeluarkan Ponsel saya. Sudah pukul 04.53 AM. 7 menit lagi menuju Pukul 5 Pagi.
“It’s 4.53 Chris. Should we go Up There?”, tanya saya.
“Sure. Lets Go!”
Saya berjalan paling depan. Di belakang saya ada Laura dan Elena yang berjalan berdampingan. Sedangkan Chris berjalan paling belakang. Tidak sampai lima menit, kami sudah berada di puncak. Kami langsung disambut hembusan angin yang begitu kencang. Udara juga terasa semakin dingin. Andai saat itu ada cermin yang bisa saya gunakan untuk berkaca, wajah saya akan terlihat pucat pasi karna Kedinginan. Saya coba melihat wajah ketiga kawan baru saya, tak ada raut muka kedinginan yang nampak dari wajah mereka. Bahkan, wajah ketiganya nampak berseri-seri akibat luapan kebahagiaan karna telah menggapai puncak tertinggi Jawa
Tak lama, kami meneruskan perjalanan menuju titik triangulasi yang ada Tiang bendera Merah Putih dan Plat bertuliskan puncak Mahameru. Di sana Kami saling berjabatan tangan. Erat sekali. Saat itu, hanya ada kami berempat di Puncak sana. Matahari masih belum menampakkan wajahnya. Tapi, di ujung timur sana, semburat jingga sudah mulai merekah. Indah sekali. Gunung Raung yang tengah meluapkan kepulan asap juga kelihatan dengan sangat jelas. Ketiga teman baru saya langsung terdiam. Saya tau, saat itu Laura, Chris dan Elena sedang merasakan ekstase kebahagiaan karna tujuan mereka naik Gunung Semeru telah tercapai.
Setengah jam kemudian, satu persatu pendaki lain mulai berdatangan. Lampu Blitz terlihat menyala di sana sini. Chris juga mulai memainkan Kamera DSLR Canon nya. Beberapa kali ia membidik Gunung Raung yang mengepul di kejauhan. Di belakang Chris, Laura dan Elena saling berpelukan. Kedua pasang mata mereka tidak pernah lepas dari Gunung Raung yang nampak bersinar Jingga kekuning-kuningan itu. Saya sendiri sibuk mencari tempat yang cukup nyaman untuk mengelar sajadah. Tahun lalu, bersama kawan pendakian saya yang bernama Trisian, saya sempat Melaksanakan Sembahyang Subuh berjama’ah di Puncak Mahameru. Sensasinya benar-benar luar biasa. Kali ini pun saya juga mau merasakan sensasi itu untuk kedua kalinya. Dan, Benar saja, ada sensasi berbeda yang saya rasakan. Apalagi ketika kedua tangan ini bisa menengadah dan mulut ini bisa melafalkan doa-doa di Puncak tertinggi Jawa. Masya Allah!
Selesai Sembahyang Subuh, saya mulai melaksanakan ritus yang biasa saya lakukan ketika sampai di Puncak Gunung. Saya terbiasa mencari sudut yang agak sepi lalu duduk-duduk sambil berdiam diri tanpa melakukan kegiatan apa-apa. Hanya duduk dan diam. Kadang, kalau kondisi puncaknya memungkinkan untuk tidur-tiduran, saya tak akan pernah melewatkan kesempatan untuk merebahkan badan pula. Rasanya begitu menakjubkan kala kita bisa rebahan sambil memandang kumpulan awan-awan pagi hari yang bertaburan di kolong langit. Begitu dekat, begitu lekat. Tenang sekali. Dan harus diakui, Mahameru menyuguhkan ketenangan itu secara sempurna. Inilah salah satu alasan kenapa saya begitu ketagihan mendaki Gunung. Setiap kali sampai puncak, hati saya selalu diliputi dengan ketenangan. Karna itu, Apabila rumah diidentifikasikan dengan rasa tenang dan nyaman, maka bagi saya Gunung adalah Rumah yang menyuguhkan ketenangan itu. Sehingga, Ketika orang lain bilang “Pergi ke Gunung” untuk mendaki, Saya bilang “Pulang ke Gunung” dengan berjalan kaki.”
“Harry … Harry, lets get down to the camp”, samar-samar di kejauhan, Laura, Chris, dan Elena berteriak mengajak saya turun. Kebetulan, saat itu badan saya sudah mulai gemetaran. Tangan dan Kaki saya juga mulai sulit digerakkan. Dinginnya udara di puncak Mahameru pagi hari itu benar-benar membuat saya bergidik. Andai saya memaksakan diri untuk bertahan lebih lama, bisa saja saya mengikuti nasib Hok Gie. Terkapar di Puncak Mahameru. Bedanya, Kalau Hok Gie meninggalkan nama karna menghirup Asap Beracun dari Jonggring Saloka, nama saya bisa abadi dan dikenang karna menjadi pendaki pertama yang terkapar karna Hipotermia di Puncak Abadi para Dewa. A’udzubillah min Dzalik.
0 Response to "Menuju Mahameru"
Post a Comment