Turun dari Kerinci
“Ini salah Gue”, rengeknya sambil sesenggukan. Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. Dalam remang cahaya malam, wajah kuyunya masih terlihat dengan cukup jelas. Mukanya mulai sembab. Matanya memerah. Berbekal lengan baju yang sudah agak belepotan terkena lumpur, beberapa kali ia menyeka air mata yang meluber di pipinya.
“Sudah Mpit, Sudah. Nggak ada yang Salah”, sambil menyodorkan beberapa lembar Tisu kering, Ludia berusaha keras untuk menenangkan gadis batak satu itu. Tapi, memang dasar Perempuan, bukannya menghentikan rengekan manjanya, mendengar ujaran dari kawannya itu, tangisan Mpit malah semakin Menjadi. Ibarat kobaran api yang mendapat guyuran bensin satu Jerigen, kobarannya bertambah besar. Semakin besar. Semakin Liar.
“Ini Salah Gue. Ini gara-gara gue terlalu pecicilan”, pekiknya kencang.
Saat itu, kami sedang dalam perjalanan turun dari Puncak Kerinci. Karna terjebak hujan yang cukup lebat di area perkemahan yang ada di Shelter 2, Kami baru bisa berjalan turun saat malam mulai menjelang. Sebenarnya ada pantangan untuk turun gunung sewaktu malam. Selain khawatir mendapat gangguan dari Makhluk halus penunggu Hutan, ada ketakutan pula bahwa nantinya kami bakal berpapasan dengan Harimau-Harimau Sumatera yang masih banyak berkeliaran di kolong-kolong pepohonan sekitaran sana. Seperti yang jamak diyakini oleh masyarakat kersik tuo, setiap malam, Raja Hutan itu seringkali keluar dari sarangnya untuk berburu mangsa. Dan, percayalah, makhluk berbadan Besar yang memiliki Taring dan Cakar tajam itu bukanlah sesuatu yang engkau dambakan untuk ditemui di tengah hutan belantara yang gelap gulita. Apalagi, dalam kondisi perut mereka yang sedang keroncongan.
Selepas merapalkan doa secara berjama’ah, kami mulai berjalan turun menggunakan formasi seperti yang telah disepakati sejak awal. Yoga, Karyadi dan Wisnu saling bergantian untuk menjadi penunjuk arah dengan berjalan paling depan. Ludia, Maxi, Mpit, Yudi dan Rina berjalan secara berurutan di belakang mereka. Sedangkan saya, seperti biasa, bertugas untuk menjadi Sweaper dengan berjalan paling belakang. Kami melangkah dengan agak pelan. Kondisi jalan yang kami pijak saat itu memang tidak memungkinkan untuk dilewati secara terburu-buru. Tanah yang kami tapak masih sangat licin akibat sisa-sisa hujan sore hari. Apalagi kontur medan di sana memang cukup terjal. Untungnya, kami agak terbantu dengan adanya Tongkat Gunung yang memang sengaja kami bawa dari Jakarta. Fungsi tongkat gunung ini penting. Selain untuk menjaga keseimbangan badan saat mendaki, tongkat ini pun juga sangat berperan untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh lutut dan kaki. Sehingga, kemungkinan kita mendapatkan cedera lutut ketika melakukan pendakian gunung bisa diminimalisir.
Di tengah perjalanan itu, sesekali kami berhenti untuk melepas lelah. Hanya sebentar saja, karna mau tidak mau kami harus bergegas melangkahkan kaki kembali. Ketergesaan memang erat kaitannya dengan ketidakhati-hatian dan kecerobohan. Dua sifat yang bisa menjerumuskan manusia pada petaka. Namun, karna diburu oleh waktu, kami terpaksa harus berjalan dengan agak tergesa. Beruntung tidak ada petaka yang menimpa. Sepanjang perjalanan itu juga, kami hanya berceloteh seperlunya. Badan sudah terlalu penat untuk diajak bercakap-cakap. Setiap orang sibuk dengan pikirannya sendiri. Suasana pun kian sepi.
Ketika malam beranjak semakin larut, kelopak mata saya mulai memberat. Bahkan beberapa kali saya sempat jatuh tertelungkup di kubangan lumpur. Dari dulu saya memang tidak pernah menang melawan rasa kantuk. Sewaktu naik ke Gunung Pangrango bersama Rina, Zuni, Dani dan Ninung misalnya, saya lebih memilih untuk tidur di tengah Jalan daripada harus memaksakan diri untuk melangkah. Kejadian serupa juga kembali terulang sewaktu saya naik ke Gunung merapi bersama Muji dan Zuni. Saking tidak berdayanya melawan rasa kantuk itu, akhirnya saya tercecer sendirian di belakang. Zuni dan Muji meneruskan perjalanan menuju Pasar Bubrah, sedangkan saya terlelap sendirian di cerukan jalan menuju Pos 2 Gunung Merapi.
Beruntung sekali, dalam perjalanan turun dari puncak Kerinci, Rina begitu sabar merawat kesadaran saya. Sewaktu saya tertinggal di belakang akibat terjatuh di kubangan lumpur, Rina balik badan demi membantu saya berdiri. Sesekali, ketika saya tertinggal agak jauh karna mata sudah ingin terpejam, rina berhasil membangunkan kesadaran saya dengan teriakan-teriakannya. Kejadian itu berulang terus sampai akhirnya kami tiba di Pos 1. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Saat itu, Badan saya sudah terlampau lelah. Tas Gunung yang saya panggul segera saya hempaskan ke tanah. Setelah itu, saya langsung rebahan di samping pohon dekat jalan setapak yang baru saja kami lewati. Saya ingat, saat itu saya sempat terlelap beberapa saat. Meskipun demikian, samar-samar saya masih mendengar gaung teriakan itu.
“Ini salah Gue”
Seandainya waktu itu rina tidak menepuk pundak saya, barangkali saya masih asik tidur sendirian. Sekali saya jatuh terlelap, suara-suara sekitar yang orang lain anggap terlalu berisik kadang tidak saya gubris sama sekali. Seperti teriakan Mpit itu. Tapi apa daya, tepukan rina memaksa saya untuk bangun dari tidur. Saya coba bangkit dari posisi rebahan yang sudah kadung terasa nyaman itu. Di depan sana, saya lihat kawan-kawan satu rombongan sudah melingkar mengitari Mpit. Tak mau ketinggalan, saya dan Rina segera menghambur untuk bergabung bersama mereka.
Di sela-sela rengekan dan tangisan Mpit yang terdengar semakin lirih, Maxi mulai membuka percakapan.
“Awalnya Gue Nggak mau Cerita. Tapi Gue sudah Nggak Kuat. Kalian perlu tau, sejak kita berjalan turun dari Shelter 2, Kita sudah diikuti.” Sampai di situ, kami semua terperangah. Kaget sekaligus bingung.
"Diikuti apa? Siapa?", pikir kami waktu itu.
“Namanya Neng", lanjut Maxi. "Daritadi si Neng ikut berjalan bareng kita. Maaf ya, sebenarnya Gue nggak mau cerita. Gue nggak mau kalian ikut terganggu. Tapi Gue sudah nggak Kuat. Akhirnya Gue cerita sama Mpit”, tak lama setelah menyelesaikan kalimatnya itu, Maxi pun mulai menitikkan air mata.
Masih menurut Maxi, si Neng yang membuntuti kami sebenarnya memiliki paras yang cukup cantik. Kadang, Si Neng berjalan di Belakang Yoga. Tak jarang pula dia menguntit di belakang Karyadi. Sambil membuntuti kami, Si Neng mengajak Maxi untuk menemaninya tinggal di Gunung Kerinci. Parahnya, ajakan si Neng itu tidak hanya diutarakan sekali atau dua kali saja, tapi, berkali-kali makhluk penunggu gunung kerinci itu mengulang-ulang terus ajakannya. Di situlah Maxi mulai merasa terganggu. “Gue Nggak Kuat”, katanya sambil terisak.
Mendengar pengakuan Maxi, Tangisan Mpit kembali meledak. Mpit merasa begitu bersalah. Ia menganggap bahwa celotehan dan ocehannya sepanjang perjalanan lah yang membuat makhluk-makhluk halus penguasa kerinci menjadi terganggu sehingga balik menggangu kami. Memang, dalam setiap Pendakian Gunung, termasuk pendakian Kerinci kali itu, suara Mpit selalu terdengar sepanjang perjalanan. Ia menjadi orang yang paling ramai di tim kami. Ada saja celotehan-celotehan yang keluar dari mulutnya. Tapi, sebagian besar celotehannya itu dia utarakan untuk menyemangati dirinya sendiri sekaligus juga untuk menyemangati Tim. Kalimat semisal, "Kamu Muda Kamu Bisa!", "Semangat Gepang!", adalah celotehan penyemangat yang paling sering dia ucapkan kala itu.
"Ini salah Gue kan? Coba kalau Gue Diem, pasti kita nggak akan diganggu", ucapnya terbata-bata. Dengan sigap, Ludia merangkul bahu Mpit. “Sudah Mpit. Sudah. Nggak ada yang salah. Celotehan kamu malah bikin kami bertambah semangat. Coba kalau kamu Cuma diem, bisa jadi kita sudah menyerah sebelum sampai puncak”, ujarnya pelan. Tangan kanan ludia mulai membelai kepala Mpit. Ia mengusap-usapnya seperti usapan seorang Ibu ketika menina bobokkan si Jabang Bayi. Mesra sekali.
Saat itu kami hanya bisa diam. Saya yakin Yoga, Karyadi, Wisnu, Ludia, Yudi dan Rina masih terkejut mendengar pengakuan jujur dari Maxi. Mereka juga pasti geleng-geleng kepala mendengar rengekan manja Mpit. Tapi, apa mau dikata. Perjalanan masih cukup panjang. Berhenti terlalu lama hanya akan memperpanjang siksaan akibat gangguan dari Makhluk yang menyebut dirinya Si Neng itu. Karnanya, setelah berembuk beberapa saat, akhirnya kami sepakat untuk sesegera mungkin melanjutkan Perjalanan. Buat kami saat itu, lebih cepat sampai ke Perkampungan adalah lebih Baik. Maka, selesai berdoa, segera saja kami bergegas melangkahkan kaki. Yoga dan Karyadi masih berjalan di depan. Sedangkan yang lain menguntit di belakang mereka, seperti formasi awal.
Perlu waktu sekitar dua jam untuk sampai di Pintu Rimba. Tentu saja dua jam kami saat itu bukanlah waktu yang pendek. Apalagi kami harus melewati waktu dua jam itu dengan perasaan was-was. Was-was akibat kuntitan si Neng, sekaligus juga was-was karna khawatir berpapasan dengan Harimau yang tengah berkeliaran mencari mangsa. Karna perasaan was-was itu, sepanjang perjalanan kami hanya berdiam diri. Entah apa yang ada di pikiran kawan seperjalanan saya yang lain, yang pasti sejak mendengar cerita tentang Si Neng dari Maxi, rasa kantuk saya sedikit memudar. Saya jadi lebih waspada ketika melangkah. Bisa dibayangkan, dengan adanya gangguan dari makhluk halus penunggu hutan yang menguntit kami sepanjang perjalanan, ditambah pula dengan posisi saya yang berjalan paling belakang, wajar saja kalau saya harus ekstra waspada, karna saat itu saya merasa menjadi orang yang paling rentan terkena serangan. Siapa yang tahu kalau di belakang saya ada sepasukan makhluk halus seperti si Neng yang ikutan pula membuntuti kami? Atau, yang lebih mengerikan lagi, apa jadinya kalau di belakang saya ada Harimau Kelaparan yang sedang mengendap-endap menunggu waktu yang paling tepat untuk menyergap? Tak perlu dibayangkan terlalu serius. Hati yang tersayat akibat pengkhianatan pasangan saja rasanya begitu pedih perih, apalagi ketika daging yang membentuk tubuh terkoyak-koyak oleh cakar dan taring tajam dari makhluk berwarna loreng itu, pasti rasanya lebih menyakitkan. Tapi, bisa jadi saya salah, karna ada yang pernah bilang kepada saya bahwa Luka yang tergores di badan, sakitnya bisa menghilang. Sedangkan luka yang tertancap di hati sakitnya terbawa sampai mati. Bah!
Sampai pintu rimba, perasaan was-was yang mulai menggelayut sejak dari Pos 1 langsung sirna. Nampak pula raut kelegaan di setiap wajah rekan seperjalanan saya. Rina bergegas menghubungi sopir angkutan yang sudah berjanji akan menjemput kami. Tak perlu menunggu terlalu lama, mobil jemputan yang kami tunggu pun akhirnya tiba. Sepanjang perjalanan menuju penginapan, Mpit sudah mulai berceloteh dengan riang. Kami pun akhirnya bisa tertawa dengan lepas, bebas, dan tanpa beban. (Bersambung)
***
0 Response to "Turun dari Kerinci"
Post a Comment