Belajar dari Juli
Bulan Juli 2010 akan selalu saya kenang
sebagai salah satu bulan terbaik dan paling berkesan dalam hidup saya. Ia akan
selalu ada dalam memori terdalam, mengabadi, dan menjadi semacam kenangan inti
seperti yang digambarkan Pete Docter melalui sosok Riley, Joy dan Sadness dalam
film Animasi Inside Out nya yang fenomenal itu.
Bukan bermaksud melebih-lebihkan, karena
pada kenyataannya, Juli memang membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam
hidup saya. Ibarat koordinat titik balik minimum dari sebuah Kurva Fungsi
Kuadrat dengan a>0 dan D=0, bulan Juli menjadi titik tolak dari
pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang saya ambil. Sehingga, mau tidak
mau, ia membawa pengaruh pula terhadap jalan hidup saya setelahnya.
Enam tahun lalu, Juli membawa saya berkelana
ke Kawasan Perbatasan Negara yang ada di ujung terdepan Negeri ini. Tepatnya di
Dusun Punti Tapau, Desa Nekan, Kecamatan Entikong Kalimantan Barat. Di sana,
melalui program Kuliah Kerja Nyata UI, saya dikenalkan dengan berbagai macam
orang yang masing-masing memiliki kisah hidup yang begitu menakjubkan. Memang
benar, orang-orang perbatasan ini tidak pernah mencicipi Bangku Sekolahan
seperti saudara mereka di tempat lain. Tapi, mereka mampu mengajari saya banyak
hal berharga yang bahkan tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliahan.
Kakek Kasan, Misalnya. Orang tua yang
tidak pernah bisa lepas dari Rokok ini mengajari saya Tentang makna Toleransi,
tentang bagaimana Berfikir secara Obyektif, dan tentang bahaya dari Gebyah Uyah
atau Generalisasi yang berlebihan. Kakek Kasan sendiri tinggal di rumah
sederhana yang terletak di dekat Gereja. Rumah mungilnya itu hanya berjarak
sepelemparan batu dari rumah Bapak Kiyong, Induk Semang saya selama saya
tinggal di Punti Tapau. Setiap pagi, ketika saya dan kawan-kawan satu kelompok berangkat
ke SD Perbatasan untuk belajar dan bermain bersama anak-anak Tapau, kami sering
berpapasan dengan Beliau dan seringpula bertukar sapa.
Sekali waktu, saya pernah berbincang
secara intens dengan Kakek berusia 60 Tahunan ini. Saat itu Kakek Kasan
bercerita secara blak-blakan tentang keluarga dan kehidupannya. Sambil
menikmati hidangan ala kadarnya, saya dikenalkan dengan istri dan cucu
kesayangannya, Wulan. Di rumah nya itu, Kakek Kasan memang hanya tinggal
bertiga, bersama Istri dan Wulan Cucunya. Ibu dari Wulan alias Anak Semata
Wayang Kakek Kasan sudah lama meninggal. Sedangkan Ayah Wulan Kabur entah
Kemana.
Menurut cerita Kakek Kasan, dahulu, anak
perempuannya sempat bekerja di Pasar Entikong yang ada di dekat Kantor
Kecamatan. Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang pemuda perantauan dari
Karanganyar, Jawa Tengah. Sebut saja namanya Wage. Pada Awalnya Wage bekerja
sebagai TKI di Perkebunan Kelapa Sawit Malaysia. Karena merasa tidak nyaman
dengan kehidupan di Negeri Orang, Wage memutuskan untuk Kembali ke Indonesia.
Tetapi, karena Wage merasa malu untuk kembali ke Kampung Halamannya dengan
tidak membawa hasil yang membanggakan, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja secara
serabutan di Entikong.
Di Kecamatan Perbatasan itu, pada akhirnya
Wage bertemu dengan Anak dari Kakek Kasan. Bermula dari Kenalan, hubungan
mereka pun akhirnya berlanjut sampai Jenjang Pernikahan. Setelah menikah,
keduanya tinggal bersama Kakek Kasan. Wage dan Istrinya kemudian bekerja di
Ladang dan Menanam sahang seperti warga Punti Tapau kebanyakan. Setahun
berlalu, kebahagiaan mereka pada akhirnya menjadi semakin lengkap setelah
kehadiran Wulan. Sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Semakin Hari,
semakin nampak perilaku negatif dari Wage.
Wage Gemar Berjudi. Ia sering
mempertaruhkan uang dari hasil panenan kebunnya di Meja Porkas. Sering pula
Wage Pulang ke rumah dalam Kondisi Mabuk berat. Perilaku Wage tersebut secara
tidak langsung sangat mengguncang jiwa istrinya. Puncaknya terjadi ketika Wage
minggat dari rumah setelah permintaannya tidak dikabulkan oleh Ibu Wulan. Saat
itu wage kehabisan uang. Padahal, ia sudah ada janji untuk ikut bermain judi
dengan kawan-kawannya. Ia tahu istrinya masih menyimpan kalung emas
pemberiannya dulu. Ia minta kalung emas itu untuk digadaikan. Tentu saja
istrinya menolak. Tak mau menyerah kalah, Wage bertindak semakin kasar. Ia
memaksa Istrinya dengan memberikan satu dua pukulan. Tapi istrinya tetap
bersikukuh mempertahankan satu-satunya harta yang masih ia punya. Karena tidak
berhasil memaksa istrinya meskipun dengan tindak kekerasan, Wage akhirnya
menyerah. Ia melenggang pergi entah kemana.
Seperti tak ada masalah apa-apa,
Keesokan harinya, Anak Kakek Kasan itu pergi ke ladang seperti biasa. Tak lupa,
ia bawa Serta Wulan kecil di gendongannya. Sore hari, sepulang dari sana, ia
langsung masuk kamar. Mengunci diri. Tak berselang lama, terdengar teriakan
histeris dari dalam Kamar. Wulan menangis sejadi-jadinya. Tetangga samping
rumah akhirnya berdatangan. Kebetulan, saat itu kakek Kasan masih di Ladang.
Entah karena inisiatif siapa, para tetangga bersepakat untuk mendobrak pintu
Kamar Wulan. Ketika pintu berhasil dibuka, mereka menemukan Ibu Wulan sudah
terkapar di lantai dengan mulut berbusa. Ada obat pembasmi serangga yang tergeletak
di samping nya.
Tak mau membuang waktu terlalu lama,
mereka pun beramai-ramai menggotong tubuh lunglai Ibu Wulan untuk dibawa ke
Puskesmas terdekat. Tapi, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Di
tengah Perjalanan itu, Ibu Wulan menghembuskan Nafas terakhirnya.
Saat menceritakan kisah kelam itu,
ekspresi wajah kakek kasan terlihat datar saja. Sepertinya, ia sudah lama berdamai
dengan masa lalunya yang penuh drama. Saya menabak, yang ada di fikirannya
sekarang hanyalah bagaimana merawat cucu semata wayangnya itu dengan baik.
Setelah diam beberapa saat, kakek kasan
kemudian melempar pertanyaan pendek, "Masdan, Wage itu Jahat ya?”
Sebelum saya sempat menyampaikan jawaban
yang sebenarnya tidak ia perlukan itu, kakek Kasan langsung menyahut, “Saya
tahu Wage itu Orang Jawa. Tapi saya yakin tidak semua Orang Jawa berperilaku
Buruk seperti Wage. Begitu juga Orang dayak. Masdan bilang orang Dayak itu
Baik, tapi sebenarnya tidak semua Orang Dayak itu Baik seperti yang masdan
sangkakan. Ada pula orang Dayak yang jahat seperti Wage. Saya juga Tahu Wage
itu Muslim, tapi saya yakin tidak semua muslim berperilaku Jahat seperti Wage.
Banyak pula yang perilakunya baik. Begitupun dengan Orang Kristen. Saya
Kristen, tapi saya tahu tidak semua Orang Kriaten itu Baik, ada yang jahat
seperti Wage. Karena Baik atau Jahatnya seseorang tidak bergantung dari Agama
atau Asal sukunya. Tapi bergantung dari Pilihannya masing-masing. Memilih untuk
menjadi jahat, atau menjadi orang baik."
"Bukan begitu?", pungkasnya
kemudian.
Saya langsung terhenyak mendengar
ungkapan Bijak dari Kakek Tua itu. Di tengah carut marutnya hubungan sosial
antar manusia sekarang ini, ungkapan kakek Kasan itu terasa begitu Relevan. Ibarat
anak panah yang menghujam tepat di jantung permasalahan. Tetapi, meskipun
terlihat relevan, apa kita mau mendengar dan menerima ujarannya dengan tangan
dan hati yang terbuka?
Saya sih sangsi. Karena sedari awal, kita
sudah terbiasa menutup telinga dan tidak mau mendengar suara-suara sumbang dari
Warga perbatasan sana. Bukan hanya untuk satu atau dua tahun saja, tapi sudah
berpuluh tahun kita menulikan telinga secara berjamaah terhadap suara dan
keluhan mereka.
Bukan Begitu? Ah, rasa-rasanya saya
sangat rindu dengan kakek Kasan. Rindu dengan Entikong.
0 Response to "Belajar dari Juli"
Post a Comment