Dian dan Derai-Derai Cemara
"Hidup hanya
menunda Kekalahan", seperti kata Chairil, yang kemudian didengungkan
kembali dengan penuh seluruh oleh Dian Sastro dalam acara Merayakan Chairil
Anwar Tempo hari.
Ada pertanyaan yang kemudian timbul di kepala, kenapa Pihak Panitia
memilihkan Puisi Derai-Derai Cemara untuk dibacakan oleh Pemeran Tokoh Cinta
dalam Film AADC ini, bukan Puisi penuh gairah semacam Aku, Diponegoro atau
Persetujuan Dengan Bung Karno. Yang jelas, kalau kita lihat, dalam Buku Pokok
dan Tokoh, A. Teeuw menganggap bahwa Derai-Derai Cemara adalah semacam tanda
dari Runtuhnya "Vitalisme" a la Chairil Anwar, vitalisme dengan tanda
Kutip, untuk merujuk kepada istilah Vitalitas. Padahal, seperti yang kita tahu,
Chairil Anwar adalah Penyair yang akrab sekali dengan Vitalitas. Melalui
catan-catatan dan pidato-pidatonya pada tahun 1943, misalnya, Chairil sempat
menyatakan,
"Begini! Lihat! Soal Keindahan soal yang hingga kini masih
dalam perbincangan sebenarnya. Bagiku Keindahan, Ida, persetimbangan-perpaduan
dari getasan-getasan hidup. Ini tentu penerangan yang pendek tegas saja.
Tapi vitaliteit ada lain. Dengan keindahan tidak ada samanya.
Dari ujung kepangkal bandingannya. Karena Vitaliteit adalah sesuatu yang tidak
bisa dihelakkan dalam mencapai keindahan. Dalam seni: Vitaliteit itu chaotisch
voorstadium, keindahan kosmisch einstadium.
Tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik! Tidak segan
memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi,
seniman adalah tanda dari hidup yang melepas bebas. Jangan salah sangka, bukan
lepas bebas tercapai gapai tak menentu, bukan pula menceraikan diri dari
penghidupan bersendiri! Bukan, bukan, sekali kali bukan! Mungkin yang begini
akibatnya mati sendiri, dan tak ada yang akan menguburkan. Hanya kemauan, inti
hidup, itu yang merdeka."
Dari ungkapan yang ditulis Chairil itu, Teeuw kemudian melihat
bahwa Penyair Angkatan 45 tersebut hendak mengidentifikasikan dirinya sebagai
seorang Vitalist sejati. Vitalist adalah seseorang yang memiliki Vitalitas atau
Vitaliteit, yaitu Daya Hidup yang menghasilkan nyala semangat yang tak kunjung
padam, yang menghasilkan keberanian yang penuh, kerelaan dan penyerahan untuk
menyandang derita yang menimpa, atau lepas dari penyesalan akan akibat-akibat
yang dikerjakan. Vitalitas inilah yang kemudian diresapkan dalam seni, dalam
karya-karya Puisi yang diciptakan oleh Chairil Anwar. Karena itu, jangan heran
apabila dari Chairil kita kemudian mengenal sajak-sajak penuh Vitalitas seperti
ini,
"Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang."
atau seperti,
"Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut"
atau juga seperti ini,
"Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!"
Akan tetapi, dengan berbagai macam kompleksitas dan dinamika
kehidupan yang dihadapinya, menurut Teeuw, semakin lama sajak Chairil terkesan
menjadi semakin sinis, semakin pahit, atau semakin Kelat akibat keinsafan asasi
bahwa segala macam pengharapan tidak mungkin bisa terlaksana semua. Karena
itulah vitalitasnya menjadi pudar. Pudarnya vitalitas ini bisa kita lihat dalam
sajak dengan Tajuk Doa. Dalam sajak ini, Chairil menulis,
"Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling"
Puisi di atas memperlihatkan kepada kita mengenai sosok Chairil
yang lain, Chairil yang minim Vitalitas. Chairil yang berbeda. Puncaknya, tentu
saja, tergambar dari Puisi Derai-Derai Cemara (1949). Melalui Sajak terakhir
dalam Kumpulan Puisi Yang Terampas dan Yang Putus ini, Chairil menulis,
"Hidup hanya menunda Kekalahan."
Pada titik inilah, menurut Teeuw, vitalitas Chairil yang menjadi
ciri khas nya itu akhirnya Runtuh. Nyala api dan kobaran semangatnya pun padam.
Kembali ke soal pemilihan Puisi, pada acara Merayakan Chairil,
Panitia Acara sepertinya memang memiliki tendensi dan narasi tersendiri dalam
hal ini. Pemilihan Puisi berjudul Yang Terampas dan Yang Putus untuk Anies
Baswedan, misalnya. Puisi ini bisa jadi memang sengaja dipilih untuk dibacakan
Anies sebagai simbol pencopotannya dari Jabatan Menteri Pendidikan Nasional
yang pernah ia sandang selama setahun lebih. Atau, puisi Persetujuan Dengan
Bung Karno untuk Budi Karya, Menteri Perhubungan baru pengganti Ignatius Jonan
yang dianggap sering Ngeyel dan mbalelo karena tidak taat pada Instruksi atasan.
Bisa saja dalam hal ini Persetujuan dianggap sebagai Simbol dari ketaatan.
Sedangkan Bung Karno, seperti yang Kita tahu adalah Simbol Kuasa yang harus
ditaati. Siapapun yang tidak taat, harus dilibas. Seperti jonan itu.
Sedangkan Dian Sastro? Sebagai Tokoh Pertama yang didaulat untuk
naik ke Panggung dan membacakan Puisi Chairil sebagai Pembuka Acara, agak aneh
apabila Tempo sebagai Panitia Acara memilihkan Puisi minim Vitalitas seperti Derai-Derai Cemara untuk
ia baca. Bagi saya ini Semacam Contradictio in Terminis
apabila dalam istilah kajian linguistik. Karna, semesta juga tahu bahwa Dian Sastro adalah Seniman
Panggung yang penuh dengan Vitalitas. Tak perlu berpanjang kata untuk
menjelaskan alasannya, kalau anda pernah menonton Film AADC, anda pasti tahu
kenapa Dian Sastro alias Cinta ini saya anggap memiliki Vitalitas seperti
halnya Chairil.
Pertanyaannya kemudian, kenapa harus derai-derai cemara? Dan
kenapa pula harus Dian Sastro? Apabila Dian dianggap sebagai cermin dari dua
hal yang saling terkait, yaitu Vitalitas dan Masyarakat Indonesia, maka bisa
saja Tempo ingin menunjukkan bahwa Vitalitas dari Masyarakat kita sekarang tengah
berada pada kondisi yang sangat rapuh, berada pada titik nadhir. Dalam kondisi
ini, seperti hal nya Chairil, sekali lagi Tempo ingin menunjukkan kepada kita bahwa ada baiknya
kita sebagai bagian dari Masyarakat memang harus berdoa, berdoa dan berdoa.
Berdoa apa saja. Termasuk doa penuh umpatan dan Nyinyiran. Seperti yang dibacakan Wakil Rakyat di Sidang Paripurna itu.
Eh, itu mah Nyinyiran, bukan Doa.
0 Response to "Dian dan Derai-Derai Cemara"
Post a Comment