Pak Dibyo Si Dekan Balairung
Namanya A.G. Sudibyo, tapi kami biasa memanggil beliau dengan sebutan Pak Dibyo. Perawakannya kecil cenderung bulat. Tingginya juga tak lebih dari akumulasi tinggi badan seorang anak berumur 5 tahunan yang berdiri di atas pundak sesamanya. Meskipun umurnya bisa dibilang sudah tidak muda lagi, tapi, jangan pernah sekali-kali meremehkan dan meragukan Pria yang identik dengan jidat ala profesornya itu. Anda akan terkesima melihat kelincahan, semangat, dan stamina beliau setiap kali bertemu dengannya. Apalagi ketika ia sedang berada di atas panggung sambil memegang Stik Konduktor ajaibnya.
Di kampus kami, barangkali hanya Jakun dan Bikun saja yang mampu menyaingi popularitasnya yang begitu luar biasa. Tingginya Popularitas jakun dan bikun Inipun sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari dukungan berbagai macam media kampanye seperti Gantungan kunci, kaos, tas ataupun sticker dengan gambar Jaket dan Bis berwarna kuning yang tercetak di atasnya. Sedangkan Pak Dibyo, tanpa perlu bantuan dari media semacam itu, nama dan wajahnya sudah sukses tertanam dan bersemayam secara abadi di kepala setiap Orang. Dalam hal ini, Timses Ahok, Anies dan Agus tentu harus belajar banyak hal kepada beliau.
Saya tidak sedang membual atau melebih-lebihkan. Anda bisa memperkirakan sendiri bagaimana populernya pria berkacamata ini. Bayangkan saja, Setiap tahun (Iya, Setiap Tahun), sebelum disibukkan dengan berbagai macam urusan personal dan rutinitas kuliah yang kadang terasa menjemukan, ribuan mahasiswa Baru UI terlebih dahulu sudah diperkenalkan dengan kegiatan yang cukup mengasyikkan lewat "Kursus" paduan suara yang wajib mereka ikuti. Pada saat Pelaksaan kursus itu, Mahasiswa-Mahasiswi yang berasal dari setiap Fakultas dan Jurusan kemudian berkumpul saban sore di Balairung untuk berlatih vokal secara bersama-sama di bawah bimbingan Sang Konduktor --siapa lagi kalau bukan-- A.G Sudibyo alias Pak Dibyo. Kenangan Indah inilah yang pada akhirnya mengabadi di Benak setiap Mahasiswa UI, seiring dengan Mengabadinya Kenangan dan Kesan Mendalam terhadap sosok Pak Dibyo, si Dekan Balairung yang merangkap sebagai Konduktor Paduan Suara Mahasiswa Baru UI Sepanjang Masa.
Yang menarik, saat kursus paduan suara itu berlangsung, tak ada lagi identitas ke-fakultasan atau identitas ke-jurusanan yang terlihat. Tak ada lagi Makara Merah, putih, Biru Muda atau makara Hijau. Semua identitas itu lebur menjadi satu hingga tersisa satu identitas tunggal. Apakah Identitas Ke-UI-an? Bukan, identitas tunggal itu adalah Identitas Ke-Maba-an yang disimbolkan oleh pakaian serba Putih yang dikenakan para Mahasiswa Baru.
Peleburan identitas ini adalah salah satu contoh dari keberhasilan Pak Dibyo dalam menanamkan jiwa persatuan, kesatuan, dan kesetaraan di benak Mahasiswa Baru. Sebuah capaian penting yang dikemudian hari dirusak oleh beberapa gelintir panitia Ospek Fakultas dengan cara mencekoki para maba yang masih unyu-unyu itu dengan faham Faculty Chauvinism lewat Atribut-Atribut dan Yel-Yel yang bernada provokatif. Misalnya, Buat apa masuk Sastra…?/ Buat apa masuk MIPA…?/ Apalagi masuk FKG…/ Tidak punya masa depan// Masuk saja Ekonomi…/ Paling hebat FEUI…/ 4 tahun jadi sarjana/ Paling sial jadi menteri…//
Terlepas dari perkembangan yang mengarah pada Faculty Chauvinism itu, Setiap orang yang begitu terobsesi dengan konsep persatuan atau keseragaman seperti Soekarno atau Soeharto, pasti langsung terkesima dengan pencapaian Pak Dibyo dengan Paduan suara Mahasiswa baru UI nya itu. Bukan kebetulan apabila Soekarno juga sempat menyatakan bahwa Konsep Demokrasi Terpimpin yang ia Gagas bisa diibaratkan seperti Paduan Suara dengan Ia sendiri sebagai Konduktornya. Bukankah hal ini Sama seperti keadaan Pak Dibyo saat melatih Paduan Suara Maba? Terlebih lagi, dalam derajat tertentu, Pak Dibyo juga memiliki kemampuan Orasi yang sangat memukau seperti halnya Soekarno. Terutama ketika ia Berkata, "Angkatan ini adalah Angkatan Terbaik yang Pernah Saya Latih!". Seolah tanpa jeda, semua Peserta Kursus Paduan Suara itupun akan Bertepuk Tangan dan berteriak dengan begitu riuhnya sebagai tanda persetujuan. Tepuk tangan ini menjadi bukti sahih betapa identitas tunggal yang dibangun oleh Pak Dibyo benar-benar menjelma dalam bentuk nyata.
Hidup Pak Dibyo!
0 Response to "Pak Dibyo Si Dekan Balairung"
Post a Comment