Pelatihan Pecinta Kucing
Beberapa waktu berselang, jagat
Twitter sempat dihebohkan oleh cuitan dari seorang wartawan cum Selebtwit
papan atas mengenai kehidupan rekannya yang kebetulan juga memiliki profesi serupa.
Dalam cuitan itu, wartawan tersebut menuduh rekan seprofesinya telah melakukan pelecehan
seksual terhadap seorang perempuan. Padahal, rekan wartawan itu dikenal luas sebagai
seorang Feminis paripurna yang sangat getol mengecam segala bentuk perilaku diskriminatif terhadap perempuan.
Banyak Netizen akhirnya murka dan
ikut latah mengecam Selebtwit tersebut. Kecaman itu tidak juga mereda meskipun
si Tertuduh telah memberikan Klarifikasi. Bahkan, dalam derajat tertentu, kecaman –yang
kadang juga disertai umpatan– tersebut malah beranak pinak dan semakin menjadi.
Meningkatnya kecaman-kecaman ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari semakin
muaknya masyarakat terhadap segala macam perilaku hipokrit yang sudah kadung
menjamur sehingga menjadi fenomena umum dalam kehidupan sosial, yaitu melarang ini,
tapi malah dikerjakan sendiri. Atau, menyuruh itu, tapi tak pernah dikerjakan sekali
waktu. Hal ini seolah membenarkan tuduhan Mochtar Lubis dalam Pidato Kebudayaannya
pada medio Tahun 70-an silam, bahwa sikap Hipokrit adalah salah satu Ciri dari
Masyarakat Indonesia.
Tak dinyana, Fenomena Hiprokrisi di atas kemudian menjelma secara nyata
di depan batang hidung saya. Saat itu, saya beserta beberapa puluh Kawan yang
lain tengah mengikuti Acara Orientasi untuk bergabung dalam sebuah Komunitas Pecinta
Kucing. Dalam acara tersebut, Panitia mengundang seorang Trainer “Kenamaan”
untuk memberikan semacam Pelatihan Dasar mengenai tetek-bengek Perkucingan.
Menurut Panitia, Pelatihan yang diberi Tajuk “Soul of Communication” tersebut bertujuan untuk memberikan bekal
kepada calon Anggota baru agar mereka dapat memahami Bahasa Kucing dan dapat
berkomunikasi secara intens dengan Para Kucing kesayangannya, sehingga, akan timbul sikap saling pengertian diantara keduanya.
Akibatnya, Calon Anggota Baru dan Para Kucingnya itu akan merasakan Kebahagiaan
Hakiki. Karena, Siapa sih yang tidak Merasa Bahagia kalau dimengerti?
Apabila dilihat dari Tujuan yang ingin dicapai,
sebenarnya pelatihan tersebut memang sangat dibutuhkan oleh calon anggota baru.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, tujuan mulia yang diharapkan tersebut nyatanya malah dirusak dan akhirnya tertutupi oleh ungkapan-ungkapan ceroboh yang
tidak perlu dan cenderung negatif dari Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Bapak Trainer
Yang Mulia.
Misalnya saja, Bapak Trainer yang
Mulia itu seringkali menekankan pentingnya Sikap “Don’t Judge!” alias jangan menghakimi Orang lain. Menurut beliau,
Orang yang Bahagia tidak akan Pernah Menghakimi. Karena Orang yang bahagia
selalu melihat sesuatu secara komprehensif, tidak hanya berdasarkan Pandangan
Mata yang parsial dan seringkali menipu. Untuk memperkuat argumentasinya itu, Bapak Trainer
Yang Terhormat menayangkan sebuah Video Pendek yang mempertontonkan sebuah Adegan
di mana Seorang Polisi tengah memergoki Pria Paruh Baya yang sedang memberikan Uang Kepada
Seorang Gadis Muda lewat Jendela Mobilnya yang terbuka.
Apabila seseorang hanya melihat
sebuah kejadian secara parsial lalu terburu-buru memberikan penilaian dan penghakiman,
Pria Paruh Baya dalam Video tersebut akan dianggap sedang bertransaksi untuk mendapatkan balas jasa "ena-ena" dari Gadis Muda
yang diberinya uang. Padahal, apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata Pria
Paruh Baya tersebut merupakan Ayah Kandung si gadis dan sedang menyuruh
anak gadisnya itu untuk membelikan makanan/minuman di minimarket Pinggir jalan.
Memang Harus diakui, pesan yang
ingin disampaikan oleh Bapak Trainer yang Terhormat lewat medium Video di atas
tentu saja sangat mulia. Hanya saja, tindakan yang dilakukan dan ungkapan yang
disampaikan setelahnya ternyata sangat bertentangan dengan Pesan yang telah ia
sampaikan beberapa waktu sebelumnya. Misalnya saja, dalam sebuah kesempatan, tanpa
ba bi bu terlebih dahulu, Bapak Trainer yang Terhormat itu langsung saja menuduh
salah seorang Kawan Kami tengah bermain Ponsel, lalu memintanya untuk
menghentikan permainannya itu. Karena merasa tidak bersalah, sontak kawan kami
langsung memberikan klarifikasi bahwa ia tidak sedang memegang Ponsel, tapi
sedang memegang Gelas berisi Air Mineral. Dan, kenyataannya memang ia sedang
meremas Gelas Plastiknya itu. Setelah mendengar Penjelasan tersebut, alih-alih
menyampaikan Permintaan Maaf karena dengan semena-mena telah menuduh dan
menghakimi kawan kami, Bapak Trainer yang terhormat itu malah berkelit dan
kemudian berkata bahwa dalam pandangan matanya, gestur kawan saya tadi
terlihat sedang bermain Ponsel. Don’t
Judge, huh?
Di lain kesempatan, ketika Bapak
Trainer yang terhormat itu sedang menyampaikan pesan mengenai pentingnya
menjaga Lisan dan kata-kata, Beliau memberikan contoh dengan Membelejeti
Kehidupan Personal dan –sekali lagi, melakukan penghakiman terhadap seseorang.
Kali ini korbannya adalah Rossa, Bams Samson dan Ariel Noah. Lebih lanjut, menurut
Bapak Trainer yang Terhormat itu, Hancurnya Rumah tangga Rossa, Buruknya
Kehidupan Asmara Bams Samson, dan Rapuhnya Kisah Percintaan Ariel Noah
merupakan akibat secara langsung dari Lagu-Lagu yang sering mereka nyanyikan,
yang kebetulan menjadi sebuah doa dan dikabulkan oleh Tuhan. Seperti Rossa
dengan Lagu Pudar nya, Bams dengan Naluri Lelaki nya, atau Ariel Noah dengan
Menunggumu nya. Meskipun harus diakui bahwa Pesan yang ingin beliau sampaikan
memang sangat bagus, hanya saja, penghakimannya terhadap beberapa orang di
depan Forum Resmi hanya untuk menguatkan argumentasinya itu, buat saya sangatlah
keterlaluan.
Selain ungkapan-ungkapannya yang
cenderung kontradiktif atau bertentangan satu sama lain seperti contoh di atas,
ada tiga hal lain yang sempat diutarakan oleh Bapak Trainer yang menurut saya
sangat berbahaya. Pertama, Pandangan Misoginisnya yang Menyamakan Perempuan dengan
pilihan busana agak terbuka seperti Seekor Monyet. Menurut beliau, Monyet dan
Manusia memiliki Tubuh dan Aurat yang sama. Bedanya, monyet suka memperlihatkan secara
detail tubuhnya yang terbuka, mulai dari Bokong sampai Dada. Sehingga, ketika
ada Manusia, terutama Perempuan, yang memperlihatkan bagian tubuhnya, berarti perempuan
tersebut mirip Monyet. Kita boleh saja tidak sependapat dengan Gaya Berbusana
Perempuan yang cenderung Terbuka, tapi ketika Perempuan dengan Pilihan Busana
seperti itu disamakan dengan Monyet, saya rasa kita akan sepakat bahwa tindakan
itu sudah sangat keterlaluan.
Kedua, masih terkait monyet yang
tidak berbusana, Bapak Trainer yang Terhormat juga mengaitkannya dengan
penduduk asli Papua yang masih berbusana a la kadarnya dan cenderung terbuka.
Ungkapan tersebut sama sekali tidak patut dan dapat menimbulkan prasangka antar anak
bangsa yang, bisa saja, pada akhirnya dapat menyulut konflik horizontal.
Terlebih lagi, Bapak Trainer juga sempat berseloroh bahwa apabila dadanya
dibelah, ada Garuda Pancasila yang tertanam di sana. Ungkapan ini beliau
sampaikan untuk menunjukkan bahwa Beliau memiliki Jiwa Nasionalis yang mendalam. Akan tetapi, dengan ungkapan Offside
nya tentang Monyet dan Orang Papua di atas, beliau secara nyata telah
merubuhkan klaim Nasionalisme dalam dirinya.
Ketiga –dan ini sebenarnya yang
melatarbelakangi semua tindak tanduk beserta ucapan dan ungkapan yang menyertainya,
adalah bahwa dari awal sampai akhir Pelatihan, sebenarnya Bapak Trainer yang
Terhormat tengah merekonstruksi sebuah Ide yang sebenarnya sudah Usang, yaitu
ide mengenai hubungan subordinatif (relasi yang timpang) antara laki-laki dan
perempuan (juga antara Narasumber dan Audience),
di mana lelaki (juga Narasumber) lebih berkuasa dan mendominasi, sedangkan
perempuan (juga audience) berada di
bawah kuasanya. Ide ini secara implisit disampaikan secara berulang-ulang
melalui simbol-simbol verbal yang ia utarakan. Tujuannya untuk apa? menurut
saya, promosi ide-ide yang disampaikan Bapak Trainer yang Terhormat tersebut
bertujuan untuk menciptakan Hegemoni, seperti yang dirumuskan oleh Gramsci –dan
disempurnakan oleh Laclau dan Mouffe. Sehingga, Kelas yang mendominasi, dalam
hal ini Laki-Laki, dan lebih spesifik lagi adalah Bapak Trainer yang Terhormat
sebagai Narasumber, dapat menguasai Audience
nya dan dapat memerintah mereka dengan bebas.
Contoh nyata yang dapat
diperlihatkan terkait Poin Ketiga di atas antara lain; Perintah beliau kepada
salah satu Kawan kami untuk menuangkan air mineral di gelasnya, Konflik beliau dengan
Istrinya yang akhirnya diselesaikan dengan perintahnya kepada sang istri untuk meminta maaf kepadanya –kenapa
bukan Bapak Trainer yang Terhormat itu sendiri yang meminta maaf?, serta
ungkapannya di awal acara ketika mengenalkan dayang-dayang cantik yang
menyertainya.
Akan tetapi, Meskipun ada banyak
hal yang tidak patut –dan bahkan berbahaya, dari Ungkapan Bapak Trainer yang
terhormat itu, harus tetap diakui masih ada beberapa hal positif yang dapat
diambil dari Beliau. Yang Paling penting dan utama adalah, bahwa beliau dapat
mempersatukan kami dalam satu kesatuan yang utuh. Dalam kajian Politik Tradisional,
kuatnya Persatuan sebuah Kelompok dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Dari Faktor internal, hal yang berpengaruh antara lain adalah Ide yang
sama dan tujuan yang sama. Sedangkan dari faktor eksternal, Persatuan sebuah
Kelompok dapat diperkuat dengan adanya Musuh Bersama, dan untuk faktor
penguat yang terakhir ini, kredit besar harus diberikan kepada Bapak Trainer
yang terhormat.
Terakhir, masih menurut Gramsci,
Struktur Hegemoni akan terbentuk secara sempurna apabila tidak ada lagi oposisi
yang berani melontarkan kritik terhadap struktur tersebut. Masalahnya, belum
ada yang berani mengajukan kritik konstruktif secara langsung terhadap Struktur
Hegemoni yang sudah dibangun oleh Bapak Trainer yang terhormat itu, sehingga
Hegemoni yang sudah dibangun akan berlangsung terus menerus entah sampai kapan.
Namun, dengan masukan dan penolakan kami yang sudah kami tuliskan di atas Borang
evaluasi acara yang dibagikan panitia, semoga saja masukan tersebut dapat
menjadi kritik yang konstruktif untuk mendekonstruksi Struktur Hegemoni yang diciptakan Bapak Trainer yang terhormat tersebut. Wallahu a’lam.
***
Foto diambil dari http://www.cindarkucing.com
0 Response to "Pelatihan Pecinta Kucing"
Post a Comment