Bertaruh Nyawa di Puncak Gunung
11 November 2011, sore hari, di puncak
Gunung Gede. Saat itu, hujan turun dengan lebatnya. Gemuruh suara angin
yang menggema dari dinding-dinding kawah terdengar sangat jelas dari dalam
tenda. Udara terasa begitu dingin. Jaket yang kami kenakan seolah tidak mampu
menahan serangan dingin yang sudah terasa keterlauan itu. Kami berenam; Babe
Utun, saya, Vici, Reski, Ania, dan Maulana, akhirnya memilih untuk duduk
berdempetan sambil berselimutkan Sleeping Bag lawas yang berukuran cukup besar.
Sebenarnya, agak riskan memaksakan
diri mendaki Gunung saat cuaca sedang tidak bersahabat seperti saat itu. Tapi,
apa boleh buat, kami harus meluluskan ajakan Babe Utun untuk merayakan Ulang
Tahun nya yang ke-70 dengan mendaki Gunung Favoritnya. Saya masih ingat betul,
sewaktu pesan pendek yang berisi ajakan dari Babe masuk ke Ponsel, saya
sempat mengingatkan Si Bocah Tua Nakal itu bahwa beberapa bulan kedepan, hujan
masih akan turun dengan derasnya. Tapi, dengan entengnya, Babe membalas pesan
saya dengan ungkapan pendeknya yang khas, “Yang bekuah lebih enak”, tulisnya. Saya
langsung terdiam.
Akibat dari ajakan itulah, sore
itu kami terkurung dalam tenda, di Puncak Gunung Gede, di tengah guyuran hujan
yang sangat deras. Seandainya terjadi sesuatu kepada kami, tidak akan ada
kelompok pendaki lain yang dapat menolong atau memberikan bantuan. Mayoritas
pendaki lebih memilih untuk menggelar tenda di Pos Kandang Badak atau Lembah
Suryakencana. Jumlahnya pun masih bisa dihitung dengan jari.
Dahulu, sebelum Film 5 cm rilis
dan tayang di layar kaca, suasana pendakian gunung masih terasa begitu khidmat,
begitu syahdu. Jumlah pendaki masih minim, gunung masih terasa sepi. Jauh berbeda dengan kondisi sekarang, dimana Pendakian Gunung telah
menjelma menjadi sebuah Tren dan Gaya Hidup. Ribuan manusia urban
berlomba-lomba menaklukkan hutan dan pegunungan. Berebutan menjadi yang pertama
menjejakkan kaki di sudut-sudut terpencil alam atau di puncak-puncak tertinggi
pegunungan. Gunung seolah berubah menjadi pasar malam. Semakin ramai, semakin
meriah. Seramai pameran foto-foto pegunungan di Instagram, dan semeriah obrolan
pendakian di gedung-gedung perkantoran.
Di dalam tenda, di tengah hawa
dingin yang semakin menusuk kulit itu, Babe Utun mulai berkisah tentang kehidupannya.
Ia bercerita tentang banyak hal; mulai dari kisah kehidupan kampusnya di Sastra
UI; persahabatannya dengan Legenda Petualang Indonesia seperti Soe Hok Gie, Herman
Lantang, Rudy Badil, Norman Edwin, Don Hasman, Steve Clement; maupun kisah
asmaranya dengan perempuan yang berhasil ia nikahi dan sampai kini menjadi
istrinya. Dengan segala rupa kisah-kisahnya itu, Petualang Gaek tersebut berhasil
membuat kami terpesona.
Saking memukaunya kisah yang
diceritakan Babe, tak terasa, beberapa jam sudah terlampaui. Entah sudah berapa
banyak kisah dan guyonan yang disampaikan Mantan Juru Foto Surat Kabar Suara
Pembaharuan itu, namun, hujan di luar belum juga mereda. Bahkan, semakin malam,
Badai semakin menjadi, dan guyuran hujan pun bertambah semakin deras. Akibatnya,
tenda kecil kami tidak kuasa lagi membendung tumpahan air yang turun dari kolong langit itu. Air mulai
merembes masuk ke dalam tenda. Semakin lama, rembesan air semakin banyak.
Bahkan, di sudut kanan atas tenda, air sudah menetes masuk dengan derasnya.
Sleeping Bag yang menjadi satu-satunya perisai kami untuk menahan hawa dingin sudah basah. Beberapa bagian baju atau
celana kami juga sudah terkena air. Kami mulai menggigil kedinginan.
Entah sudah berapa lama kami
tersiksa oleh hawa dingin yang begitu menusuk itu. Yang jelas, saat itu kami hanya
mengharapkan datangnya Pagi. Tapi, pagi yang kami harap-harapkan kehadirannya itu
tak juga kunjung menjelma. Waktu seolah-olah berjalan begitu pelan, terasa sangat
lambat. Dengan kondisi badan kami saat itu, kami sudah hampir merasa putus
asa, tidak berani lagi untuk berharap. Akhir kehidupan seolah sudah mendekat,
mendekat, dan semakin mendekat.
Sampai suatu ketika, Ania
mengeluarkan Balsem Geliga dari sakunya. Iseng, tanpa pretensi dan harapan
apapun, kami coba oleskan balsem tersebut ke telapak kaki kami. Beberapa saat
kemudian, rasa hangat mulai menyeruak. Bahkan karena efek Balsem Geliga itu,
saya sempat terlelap barang sejenak. Padahal, kondisi tenda saat itu sudah basah
semua. Dalam kondisi normal, mustahil hal tersebut dapat terjadi.
Lewat perantara Balsem Geliga itulah
harapan kami kembali tumbuh, bahwa kami dapat melewati malam yang dingin itu
dengan selamat. Dan, pada akhirnya, setelah
berkali-kali mengoleskan Geliga ke telapak kaki dan bagian tubuh lain, sekitar
pukul 3 atau 4 pagi, hujan mulai mereda. Kami coba intip keluar tenda, langit
terlihat cerah. Bintang Gemintang nampak indah di atas sana.
Setelah hujan benar-benar berhenti,
saya keluar dari dalam tenda dan berjalan-jalan di tepi Kawah. Di dekat Batu
Spanyol (Penanda Puncak Gede. Pada saat pembangunan Pagar pengaman, Batu tersebut
dibuang ke dalam kawah) saya coba tengok ke bawah. Saat itu, dasar kawah terlihat
dengan sangat jelas. Indah sekali. Setelah puas berjalan-jalan, saya pun
menunaikan sembahyang subuh tepat di bibir kawah. Dan, entah kenapa, sampai
sekarang saya masih merasa bahwa itulah sembahyang subuh paling khusyu’ yang
pernah saya laksanakan. Begitu Tenang, begitu khidmat.
Jujur saja, setiap kali
mengingat-ingat tragedi di Puncak Gunung Gede itu, saya tidak pernah menyangka
bahwa kami dapat melewati malam dengan selamat. Dan seandainya ditanya apakah saya Kapok Naik Gunung setelah mengalami kejadian tersebut? tentu saja akan saya jawab dengan lantang, "Menurut Ngana?"
***
***
0 Response to "Bertaruh Nyawa di Puncak Gunung"
Post a Comment