Bersepeda dan Tabungan Kenangan
"Baba, Baba tahu nggak kalau Ana itu Kakaknya Princess Peach?"
"Lho, memangnya Princess Peach punya kakak?"
"Punya. Kakaknya Princess Peach kan namanya Ana."
"Ana itu adiknya Elsa."
"Iya, tapi Princess Peach juga punya kakak. Namanya
Ana." Kata Mili, tak mau kalah.
Dari Pasar Minggu sampai Tugu Pancoran, perdebatan ayah dan
anak tentang hubungan Ana dengan Peach ini tak kunjung menemukan titik temu.
Mili tetap bersikukuh bahwa Peach dan Ana punya hubungan darah, bahwa keduanya
bersaudara.
Saya sampaikan ke Mili bahwa Ana dan Peach berada pada
semesta film yang berbeda. Peach merupakan salah satu tokoh di Film Mario Bros,
sedangkan Ana dan juga Elsa adalah pemeran utama dalam Film Frozen.
Sia-sia. Mili tetap bergeming. Apa boleh buat, karena perdebatan semakin memanas, akhirnya saya ambil jalan tengah, "Sudah, nanti sampai rumah kita tanyakan ke Mama, ya." Mili mengangguk dan perdebatan pun berakhir.
Memang, Obrolan dan perdebatan absurd seperti ini selalu menjadi menu wajib setiap kali bersepeda bersama Mili. Seperti kali ini, ketika saya mengajak Mili untuk bersepeda ke Monas. Terlebih, Perjalanan kali ini juga menjadi rekor tersendiri untuk Mili sebagai rute bersepeda terjauh dengan jarak tempuh 63 km. Sehingga, mau tidak mau, jumlah obrolan absurd nya pun juga beranak pinak dan bertambah banyak.Tapi, terlepas dari segala macam absurditasnya itu,
bersepeda bersama Mili selalu menjadi momen yang menyenangkan. Semakin sering
dan semakin lama kami bersepeda, atau semakin jauh kaki ini mengayuh, hubungan
kami bertambah semakin dekat dan kuat. Semakin banyak tempat yang kami
kunjungi, atau semakin panjang jalan yang kami lalui, ikatan batin yang kami
bangun pun bertambah semakin kokoh dan semakin erat. Bagi seorang Ayah dari
seorang anak perempuan, tak ada hal lain yang lebih menyenangkan dari hal ini.
Saya jadi teringat, dulu sekali, saban sore, Abah seringkali
mengajak saya bersepeda keliling desa. Saat itu saya masih berusia sekitar 3-4
tahunan. Saya selalu dibonceng di depan, duduk menyilang dan berpegangan pada
stang sepeda. Sambil mengayuh sepeda federal berwarna merahnya itu, Abah
kemudian bercerita tentang banyak hal.
Suatu kali, Abah bercerita panjang lebar tentang sejarah
bangunan tempat penggilingan padi yang biasa kami sebut dengan nama Selepan (e
pertama dibaca seperti huruf e pada kata teman, sedangkan e kedua dibaca
seperti huruf e pada kata empang). Lain waktu, ia juga pernah berkisah tentang
aksi heroik pemuda-pemudi kampung ketika membumihanguskan pusat penyimpanan
amunisi kompeni Belanda di sebuah bangunan yang disebut Ngloji.
Selepan ataupun Ngloji memang terletak tidak jauh dari rumah
kami, jaraknya mungkin hanya sekitar 100 an meter saja. Setiap abah mengajak saya
bersepeda untuk menengok Sawah Bengkok di ujung timur desa, kedua tempat itu
pasti akan selalu kami lewati.
Uniknya, Abah hanya akan mengajak saya bersepeda ke arah timur saja. Tidak pernah sekalipun ia mengajak saya bersepeda ke arah sebaliknya. Pertimbangannya tentu saja bukan perkara klenik atau semacamnya. Karena kalau menggunakan kategorisasi keagamaan a-la Clifford Geertz, Abah saya bukanlah seorang abangan atau priyayi yang identik dengan kepercayaan berbau tahayul seperti itu. Ia lebih tepat dikategorikan sebagai seorang santri.
Kalau boleh menebak, alasan Abah selalu menghindar untuk
bersepeda ke arah barat mungkin karena pertimbangan teknis belaka, karena
kondisi jalan ke arah sana tergolong menanjak secara konstan. Sehingga, abah
akan merasa terbebani kalau harus bersepeda sambil mengajak saya untuk turut
serta. Maklum, kampung halaman saya bisa dibilang adalah kampung pegunungan
karena berada di kaki Gunung Wilis, sehingga kondisi topografinya cenderung
berbukit-bukit.
Saya mungkin masih terlalu kecil untuk dapat mengingat
semua hal itu secara detail. Tapi, percaya atau tidak, sebagian besar kenangan
bersepeda bersama Abah selama masa kanak-kanak itu begitu melekat dan membekas
sampai hari ini. Setiap kali memejamkan
mata, semuanya akan nampak dengan sangat jelas, sangat detail. Seperti
fragmen-fragmen film yang tiba-tiba berputar secara otomatis di depan mata.
Layaknya sebuah vivid memory, saya masih bisa menceritakan
dan menggambarkan dengan sangat detail apa saja yang saya rasakan saat itu,
bagaimana posisi tangan Abah ketika memegang stang sepeda, caranya untuk
mengayuh pedal, aroma rokok gudang garam kecil yang menempel di baju Abah,
sampai obrolan-obrolan absurd kami selama dalam perjalanan.
Di titik paling rendah dalam beberapa momen hidup saya,
kenangan-kenangan manis bersama Abah itulah yang berhasil menegakkan kembali
kepala saya yang telah tertunduk lama. Hanya dengan mengingat kenangan-kenangan
itu, hati dan fikiran saya yang mulai mengering dan meranggas seolah mendapat
guyuran air yang begitu segar. Guyuran yang berhasil menumbuhkan kembali
optimisme akan hidup yang mulai mengabur.
Memang benar nasihat Dostoevsky dalam The Brothers
Karamazov, bahwa segala macam kenangan baik yang diperoleh semasa kanak-kanak
merupakan investasi terbaik untuk masa depan. Lebih lanjut, kata Dostoevsky, “ … If a man carries many such memories
with him into life, he is safe to the end of his days, and if one has only one
good memory left in one's heart, even that may sometime be the means of saving
us.”
Tentu saja kata ganti "man, he, him, one, dan us" dalam
tulisan Dostoevsky di atas dapat merujuk kepada siapapun. Termasuk saya,
termasuk pula Mili. Saya sudah membuktikan, dan mungkin Mili juga akan
membuktikannya suatu saat nanti. Sampai saat itu tiba, saya hanya ingin
membangun kenangan indah sebanyak-banyaknya bersama Mili, sebagai bekalnya
kelak untuk meniti waktu.
0 Response to "Bersepeda dan Tabungan Kenangan"
Post a Comment